“Could They Speak Up Their Rights?” A Socio Legal Approach

“Could They Speak Up Their Rights?”

A Socio Legal Approach

By : Beckham Jufian Podung, SH

Sebelum memulai artikel sederhana ini, saya teringat dengan apa yang disampaikan oleh Satjipto Rahardjo dalam harian Kompas tahun 2003 tentang determinasi suatu hukum dengan kalimat sebagai berikut “kita hidup dizaman hukum modern, sayangnya itu tidak menjamin bahwa yang menang adalah yang benar” apabila ditelaah lebih lanjut konteks kalimat Satjipto Rahardjo tersebut merujuk kepada proses untuk memperoleh keadilan dalam suatu perkara di pengadilan. Namun, sebenarnya apabila ditarik dalam konteks makro maka kalimat tersebut bisa juga dipahami sebagai berikut “kita hidup dizaman hukum (recht) modern, sayangnya itu tidak menjamin bahwa yang memperoleh hukum (recht) adalah yang berhak”. Dalam konteks bahasa Indonesia hukum sering diartikan sebagai aturan-aturan yang hidup baik tertulis maupun tidak. Namun dalam konteks bahasa Belanda istilah “recht  bisa merujuk kepada dua arti yaitu hukum atau hak (ik heb een recht onder het recht) saya mempunyai hak berdasarkan hukum (Donald Rumokoy, 2018) Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan sederhana bahwa bicara hukum maka salah satu subsistem bahkan merupakan subsistem terpenting dalam hukum ialah hak. Hal ini bukanlah suatu guyonan belaka sebab sejak lahirnya gagasan negara hukum entah klasik termasuk modern, gagasan perlindungan terhadap hak asasi manusia menjadi semacam suatu pasal conditio sine qua non lihat saja misalnya Stahl, Dicey, Tamanaha, Bedner, Peerenboom, Jimly, dsb.  

Hak itu berevolusi dalam berbagai jenis, bahkan boleh dikatakan usia hak hampir setua usia perjalanan peradaban manusia. Hak sebagai perangkat substantif manusia era modern bisa saja mengklaim Declaration universal of human rights sebagai dasar hak modern, meski catatan sejarah mencatat hak bahkan sudah disebut-sebut oleh para filsuf setara Aristoteles dan Ulpianus dengan istilah “ius suum cuiqie tribuere” artinya memberikan kepada tiap orang apa yang menjadi hak-haknya. (Wolfgang Friedman, 1970).  Meski sejarah senantiasa rumit sebab dalam satu masa ke masa lain kadar suatu hak berbeda-beda. Namun, dengan semakin modernnya suatu negara, maka hak mulai berevolusi hingga menghantarkan manusia pada zaman hak dalam istilah Louis Henkin (Louis Henkin, 1990) Namun ditengah berkembangnya hak sebagai bagian tidak terpisahkan dari subjek hukum yaitu manusia, apakah manusia dapat dikatakan benar-benar memiliki hak?


 

 

Gambar diambil pada sekitar bulan November tahun 2021 di TPA Sumompo, Manado, Sulawesi Utara. Dalam aktivitas kelas belajar-mengajar.

Inilah potret kesenjangan sosial yang sering terjadi di Indonesia, mereka adalah sekumpulan anak-anak yang tinggal di daerah pusat pembuangan sampah di Kota Manado, Provinsi Sulawesi Utara. Aktivitas mereka memang kelihatanya layaknya aktivitas pada umumnya, sayangnya bagi mereka, mempunyai rumah, lingkungan yang sehat, pendidikan yang berkualitas dan hidup selayaknya manusia bagaimana mimpi disiang hari. Sebab secara empiris mereka tidak mempunyai rumah, maka opsi yang paling memungkinkan bagi mereka adalah mendirikan rumah diatas tumpukan sampah, bahkan ketika Penulis mengunjungi tempat tersebut, kelihatannya memang tanah tetapi karena dibawahnya merupakan sampah plastik dan membutuhkan ratusan tahun untuk bisa mengurai sampah plastik, maka tanahnya menjadi lembek. Kejadian ini mengingatkan Penulis pada kisah seorang Nabi Isa (Yesus Kristus) ketika memberi perumpamaan tentang rumah yang kokoh dan rumah yang tidak kokoh, rumah yang kokoh pasti dibangun diatas tanah dan fondasi yang kuat (tidak mudah goyang atau rapuh) sedangkan rumah yang dibangun diatas dasar yang mudah goyang maka akan berpotensi roboh. Demikianlah gambaran kecil keadaan rumah tanpa fondasi yang kuat sebab dibangun diatas sampah. Dalam rutinitas biasanya pun mereka akrab dengan sampah. Bahkan, mereka hidup dari sampah. Sampah yang sama sekali tidak memiliki arti bagi sebagian besar orang ternyata bagi mereka itulah hidup. Sampah adalah hidup bagi mereka, demikian pula pendidikan, menurut Nelson Mandela “Pendidikan adalah senjata paling ampuh di seluruh dunia”. Namun bagaimana jika anak-anak dalam usia belajar justru tidak mendapatkan pendidikan yang baik dan justru dipaksa untuk hidup dengan sampah? Apakah pendidikan milik semua orang? Disinilah letak seharusnya hukum bermain. Dalam konsep mengenai keberadaan atau sifat hukum Donald Black mengatakan bahwa hukum menjadi semakin kecil kepada kaum marjinal. Orang kecil (marjinal) menjadi semakin sulit memobilisasi hukum. (Donald Black, 2020) Inilah dampak stratifikasi sosial. Hukum akan berubah seiring dengan stratifikasi masyarakat.

 Demi mencegah terjadinya ketimpangan antara yang kaya dan yang miskin maka disitulah negara berperan. Negara berperan untuk meminimalisir jarak antara yang kaya dan yang miskin. Kalaupun tidak demikian, maka negara seharusnya hadir untuk melindungi kepentingan kaum marjinal sebagai primus inter pares jika dibandingkan vis a vis dengan kaum lainnya. Sebab keadaan kaum marjinal sangat rentan untuk dirampas, diusir dan dibuang hak-haknya. Padahal bukankah semua manusia pada dasarnya sepakat bahwa hak ialah merupakan pemberian eksklusif dari Tuhan YME yang tidak bisa di ganggu-gugat (John Locke). Peran negara tersebut kemudian dinormatifkan dalam pasal-pasal perlindungan kaum marjinal seperti Pasal 34 UUD NRI Tahun 1945 dan undang-undang derivatifnya termasuk kebijakan pro kaum marjinal (BPJS, Kartu Indonesia Pintar dan sebagainya). Sayangnya upaya menormatifkan peran negara untuk melindungi kaum marjinal muncul dari pengamatan akan gejala dan bukan fakta. Gejalanya masih banyak orang miskin di Indonesia, berdasarkan data statistik menunjukkan sekian juta. Namun apakah itu bukan fakta? Gejala senantiasa datang dari fakta empiris. Bedanya gejala menggambarkan keadaan secara makro, umum dan abstrak sedangkan fakta, menjelaskan keadaan person to person. Tidak mengherankan kalau meski pemerintah mempunyai data kemiskinan, kadangkala kita lebih berempati jika melihatnya secara langsung (fakta) dan bahkan kadangkala kesimpulan kita yang mengamatinya secara langsung berbeda dengan gejala dalam data statistik. Hal ini mungkin disebabkan karena kemiskinan tiap orang tidak bisa ditarik satu garis lurus. Maksudnya tiap orang punya kadar kemiskinan yang berbeda-beda. Sehingga memperlakukan mereka semua secara sama dianggap kurang pas.

Dalam kasus yang coba diangkat penulis, muncul sebuah anomali dalam hasil penelitian penulis. Jika melihat ketimpangan atau kesenjangan sosial merebak didaerah seperti papua misalnya saja Suku Wano di Papua, dapat diterima akal sehat bahwa Suku Wano sulit untuk bisa mengakses hak-hak mereka, sebab akses ke Suku Wano misalnya jalan atau kendaraan tidak tersedia, karenya untuk bisa kesana anda harus menyewa sebuah pesawat. Sulitnya akses (infrastruktur) membuat Suku Wano sulit untuk mengakses hak-hak mereka. Solusinya sederhana, buatkan infrastruktur yang memadai bagi mereka. Namun dalam pengamatan empiris penulis. Dalam kejadian kasus di TPA Sumumpo, Manado, sulit bila dikatakan bahwa akses kehak-hak mereka dihalangi oleh inftrastruktur. Kota manado adalah kota yang relatif kecil, TPA Sumompo juga tidak jauh dari pusat kota. Bahkan kadangkala demi mengecek keadaan TPA, para pemimpin seperti Walikota atau Gubernur sering turun kesana. Tetapi kenapa keadaan masyarakat disana seakan dianggap tidak pernah ada? Bahkan ketika Penulis menanyai beberapa warga disana dan bertanya mengenai kesanggupan hidup ditengah lingkungan tidak bersih mereka hanya pasrah dan menerima keadaan. Satu-satunya warisan mereka kepada anak-anak mereka hanyalah semangat mempertahankan kehidupan dengan sampah. Mereka tidak pernah membayangkan bahwa UUD NRI Tahun 1945 memberi mereka jaminan konstitusional untuk hidup yang lebih baik. Bayangkan saja bahkan tidak pernah terbayang dalam pikiran mereka bahwa hak-hak mereka sama halnya dengan hak para anggota dewan yang duduk di Senayan, bahkan apabila ditarik dalam teori perwakilan keadaan para senator harusnya lebih rendah daripada rakyatnya. Namun apakah faktanya benar demikian?  Sulit untuk melihat fakta ketimpangan sosial dengan hanya menggunakan optik positif seperti undang-undang dan sebagainya. Inilah objek sosiologi hukum, melihat hukum dalam kaitannya dengan masyarakat.

Kesimpulannya sederhana, apakah mereka dapat mengatakan hak-haknya? Jawabannya tidak. Sulit mengatakan bahwa ada putusan MK tentang meaningfull participation yang berguna bagi mereka untuk menyuarakan aspirasi dalam proses pembuatan kebijakan lewat undang-undang, sulit juga mengatakan kepada mereka bahwa bagi pendidikan anak-anak mereka, negara menganggarkan minimal 20% APBN, dan sulit juga mengatakan bagi mereka bahwa punya pekerjaan yang layak, lingkungan yang sehat, dan dipelihara oleh negara terdapat dalam Undang-Undang Dasar. Apakah karena mereka tidak bisa mengaksesnya? Barangkali letak jawabannya adalah di sarana representasi diri. Jawaban demikian juga dilontarkan Gayatri Spivak ketika bertanya can subaltern speak? Ia mendeskripsikan lingkungan yang melingkupi bunuh diri seorang perempuan Bengal muda yang mengindikasikan usaha yang gagal untuk melakukan representasi diri (self representation) karena usahanya untuk berbicara (hak-haknya) tidak dipahami atau didukung. Berdasarkan fakta itulah Spivak menarik konklusi bahwa “subaltern cannot speak” (Gayatri Spivak, 2021) Subaltern ialah kaum petani di desa Italia (Gramschi) atau kaum proletary/proles (Marx). Intinya mereka merupakan kaum bawahan, marjinal dan terpinggikan. Sebagaimana keadaan mereka terpinggirkan begitupula dimaknai bahwa hak (berdasarkan hukum) mereka juga sering diabaikan. Apakah mereka dapat berbicara lantang? Sejauh ini tidak. Penerimaan diri apa adanya dan ketidakmampuan untuk mengaktualisasi diri dapat dianggap sebagai kegagalan negara melindungi kaum subaltern. (Stephen Morton, 2007)

Comments