KESEHATAN SEBAGAI HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA ANTARA MITOS DAN FAKTA

KESEHATAN SEBAGAI HAK KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA

ANTARA MITOS DAN FAKTA

Penulis : Beckham Jufian Podung

Editor : Arbirelio Walukow

 

            Konstitusi merupakan elemen penting sebagai bagian dari upaya adanya konstitusionalisme terhadap pelaksanaan penyelenggara negara, konsepsi konstitusi seperti ini merupakan konsepsi klasik konstitusi yang berkembang diawal munculnya konstitusi modern diamerika pada tahun 1789, konstitusi pada dasarnya dimaknai sebagai the political rules or constitution atau konstitusi politik. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, paradigma terhadap konstitusi kian berubah, konstitusi yang merupakan de hoogste wet (Hukum Yang Tertinggi)[1] pun berubah dari political constitution, menjadi human rights constitution, white constitution, green constitution, Godly constitution, dan lain sebagainya.

Seperti yang penulis sebutkan diatas hal ini pun memengaruhi perkembangan konstitusi di Indonesia sejak masa amendemen konstitusi. Sejak amendemen konstitusi kita yaitu UUD NRI Tahun 1945 pun mulai mengadopsi akan pengakuan terhadap human rights constitution, green constitution, economic constitution, Godly constitution dan bahkan dengan tegas (expresses verbis) pengakuan terhadap adanya hak untuk memeroleh Kesehatan dan pelayanan kesehatan yang baik pun turut menjadi perhatian atau yang penulis namakan gagasan white constitution atau konstitusi putih[2]. Padahal, Ketika pembahasan UUD 1945 pasca kemerdekaan, konsepsi akan hak asasi mengalami tarik ulur antara Hatta-Yamin dan Soekarno-Soepomo sehingga melahirkan pasal 28 UUD 1945 yang merupakan pasal dengan konsepsi HAM antara mitos dan fakta atau antara ada dan tiada[3]. Namun dengan amendemen konstitusi, konsepsi akan pengakuan Hak Asasi Manusia kian terang dan jelas, sehingga determinasi politik atas pengakuan Hak Asasi Manusia, sekali lagi dapat kita hindari, termasuk didalamnya yaitu ketegasan UUD NRI Tahun 1945 yang mengatur Hak Atas Kesehatan. Namun, dalil bahwa UUD NRI Tahun 1945 sebagai White Constitution, seharusnya tidak hanya dimaknai secara formal karena memeroleh tempatnya yang terhormat sebagai bagian konstitusi secara formal, namun apakah hakikat yaitu substansi konsepsi white constitution memang dalam praktiknya tidak hanya menjadi law in books melainkan pula hidup sebagai law in action seperti yang dikemukakan oleh Roscoe Pound.

Didalam praktiknya dan kenyataan yang ada keberadaan dari White Constitution menjadi antara ada dan tiada dalam penyelenggaraannya terutama Ketika di tahun 2020 sampai dengan 2021 saat ini dunia termasuk Indonesia sedang menghadapi Pandemi Covid-19. Penulis sebenarnya terinspirasi mengangkat gagasan ini kembali, yang sebelumnya sudah penulis pikirkan, namun karena berbagai kesibukan penulis tak kunjung mempublikasikan gagasan ini. Penulis sendiri teringat satu kisah sewaktu penulis mampir disebuah warung makan dengan sahabat penulis waktu itu untuk sarapan pagi, sambil sarapan penulis secara tidak sengaja mendengar percakapan beberapa ibu-ibu dirumah makan tersebut. Dalam percakapan mereka tampaknya mereka meragukan setiap orang yang meninggal yang kemudian dikubur dengan Protokol Kesehatan Covid-19, dalam percakapan itu tampaknya mereka kecewa dan meragukan pelayanan kesehatan disetiap Rumah Sakit. Bahkan, lucunya ada yang berkata bahwa wajar saja itu terjadi, sebab dokter-dokter era modern lahir bukan karena kualitas melainkan karena asal ada uang. Hal itu pun membuat penulis merenung sebentar, dan akhirnya memutuskan kembali mengangkat gagasan ini. Yaitu bahwa negara seharusnya bertanggung jawab terhadap kesehatan warga negaranya dan termasuk pelayanan kesehatan dirumah sakit karena hak memeroleh kesehatan termasuk pelayanan kesehatan yang baik sebenarnya merupakan Hak Asasi Manusia yang menurut penulis, tidak bisa diabaikan begitu saja oleh negara yang dalam konteks ini yaitu Pemerintah.

Negara seharusnya bertanggung jawab untuk menyediakan Sumber Daya Manusia yang berkualitas untuk menjadi tenaga kesehatan berupa dokter dan perawat lewat Pendidikan yang selektif dan akuntabel, bukan berdasarkan kemampuan membayar SPP/UKT, sehingga siapapun yang mumpuni menjadi dokter dan perawat bisa berasal dari mana saja asalkan berkualitas. Seharusnya Negara bertanggung jawab terhadap adanya kekurangan oksigen yang terjadi diera Pandemi Covid-19, negara pula seharusnya bertanggung jawab terhadap penyediaan vaksin gratis dan rumah sakit bagi penderita Covid-19. Penelantaraan pasien dan gagasan vaksin berbayar sebenarnya merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia dibidang Kesehatan yang diatur dalam konstitusi yaitu didalam UUD 1945 pasal 28 H ayat 1.

Konstitusi sendiri memang dibagi dalam 2 bentuk yaitu konsep konstitusi positif (as it is) dan konsep konstitusi normatif (as it ought to be). Konstitusi dalam konsep konsitusi positif konstitusi diformulasikan dalam bentuk formalnya yaitu dalam bentuk UUD 1945 sedangkan, dalam konsep konstitusi normatif, konstitusi diformulasikan dalam bentuk cita-citanya atau dalam bentuk idealnya[4]. Gagasan white constitution sebenarnya bukan hanya gagasan dalam pengertian konstitusi dalam arti positif namun pula seharusnya diartikan dalam arti normatifnya. Artinya sekalipun UUD NRI Tahun 1945 telah mengatur adanya konsepsi kesehatan sebagai Hak Asasi Manusia, namun tampaknya negara belum memahami pentingnya hak asasi ini dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hal Pandemi Covid-19 misalnya yang dialami di Indonesia sejak maret 2020 yang lalu, cukup aneh bagi penulis, melihat realita politik hukum di Indonesia yang kelihatannya justru bukan berpihak di sisi Kesehatan, hal ini ditandai dengan munculnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas System Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas System Keuangan[5]. Padahal, dari sudut pandang epidemologi[6], negara seharusnya tidak boleh mencampuradukan antara penanganan Covid-19 dan Ekonomi, dua hal ini mempunyai dua perbedaan yang prinsipiil.

Oleh karena itu, pentingnya kita khususnya negara memahami betapa pentingnya Kesehatan sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia seharusnya tidak boleh ditawar dengan harga dan barang apapun. Sehingga gagasan white constitution ini tidak hanya menjadi gagasan antara mitos dan fakta. Faktanya dia ada dalam UUD, Namun Menjadi mitos karena dalam praktiknya tidak demikian.



[1] Jimly Asshiddiqie, Perihal UU,( Depok; Rajawali Pers, 2010 ) Hlm. 148

[2] Lihat pasal 28H ayat 1 UUD NRI Tahun 1945

[3]Jimly Asshiddiqie, Komentar Atas Undang-Undang Dasar, ( Jakarta; Sinar Grafika. 2009) Hlm.121

[4] Dikton Kurnia, Konstitusi HAM, ( Salatiga; Pustaka Pelajar, 2013 )Hlm. 5

[5] LN Nomor 87, TLN Nomor 6485, 2020

[6] Mengenai hal ini, penulis sempat bertukar pikiran dengan pakar hukum dibidang Kesehatan Dr. Theodorus Lumonon, SH, M.Hum.


 

Comments

Post a Comment