Penerapan “ Crime Control Model ” dan “ Due process Model ” dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia


Penerapan “ Crime Control Model  dan “ Due process Model ”  

dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Oleh : Hendro Pally, SH[1]

Editor : Beckham Jufian Podung, SH[2]

 

Indonesia merupakan negara hukum yang menerima sistem hukum berdasarkan asas konkordansi, yang diperoleh ketika zaman colonial belanda di Indonesia dan sampai sekarang masih masih menggunakannya, dengan ditandai lagi denhgan masih berlakunya salah satu kitab hukum pidana yaitu “Wetboek Van Straftrecht voor Nederlandsch Indie” atau yang disebut Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Adapun untuk menegakkan keadilan KUHP sebagai sumber hukum materil maka diperlukan sumber hukum formil yang dimana untuk mencari dan mengkaji suatu kebenaran dari hukum materil yang ada serta dikeluarkannya UU Nomor 8 tahun 1981 tentang kitab undang undang hukum acara pidana.[3]

Berbicara mengenai hukum acara pidana tidaklah mungkin terlepas dari sistem peradilan pidana yang sangat berkaitan erat dengan sistem yang berlaku di sebuah negara. Hal ini merupakan suatu kewajaran, sebab sistem peradilan pidana adalah sebagai salah satu sub sistem dari sistem hukum nasional secara keseluruhan yang dianut oleh suatu negara. Oleh sebab itu, setiap negara di dunia mempunyai sistem peradilan pidana yang meskipun secara garis besar hampir sama namun memiliki karakter tersendiri yang disesuaikan dengan kondisi sosial dalam masyarakat, budaya dan politik yang dianut.

Secara sederhana sistem peradilan pidana adalah proses yang dilakukan oleh negara terhadap orang yang melanggara hukum pidana. Proses yang dimulai dari kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, sebagaimana yang diungkapkan oleh Cavadino dan Dignan, bahwa hukum peradilan pidana adalah “ A term overing all those institutional which officially to the commission of offences,notably the police, prosecution authorities and court. Dengan kata lain, sistem peradilan pidana tiddak hanya mencakup satu institusi tetapi berkaitan erat dengan beberapa institusi negara.[4]

Dalam konteks menilai sistem peradilan pidana di Indonesia dengan menggunakan crime control model dan due process model. Sistem peradilan pidana untuk pertama kali diperkenalkan oleh pakar hukum pidana yang pertama di Amerika serikat oleh Helbert L Parcker. Menurut Parcker, akan memungkinkan kita memahami anatomi yang normatif hukum pidana. Jika menelaah lanjutan bahwa kedua sistem model ini bukanlah yang memiliki sifat yang memiliki nilai yang absolut karena keduanya memiliki hubungan erat satu sama lain karena due process model merupakan reaksi terhadap crime Control model, dan keduannya beroperasi dalam sistem peradilan hukum pidana. Adapun dalam sistem hukum acara pidana berisikan susunan atau tata cara sebagai aturan bagaimana negara serta peralatan alat-alat kekuasaan suatu negara menggunakan haknya untuk memberikan hukuman atau menghukum.

Adapun makna dari kedua sistem pertama Crime control model didasarkan pada sistem nilai yang mengejewantakan atau mengutamakan sikap represif  pada kejahatan sebagai fungsi yang paling penting dalam sistem peradilan pidana, menurut sistem ini peradilan pidana adalah untuk menekan jumlah kejahatan, yang dikendalikan melalui pengenaan sanksi pidana terhadap tersangka atau terdakwa, yang kedua, Due process model yang merupakan tindakan preventif, praduga tak bersalah, penemuan fakta formal, efisiensi rasa bersalah menurut hukum. Model ini didasarkan pada asumsi bahwa tujuan dari sistem peradilan pidana adalah untuk menangani terdakwa secara adil dan sesuai dengan standar konstitusi yang berlaku, serta menghargai hak-hak individu dan martabat dalam proses peradilan pidana. Dalam melaksanakan kedua sistem tersebut cenderung dan sering kali terjadi suatu penyiksaan yang dilakukan oleh penyidik terhadap tersangka untuk memberikan pengakuan kepada penyidik dan dijadikan sebagai alat bukti yang utama. [5]

Adapun Crime control model  dalam KUHAP yang menerangkan fakta-fakta yang dapat ditelusuri seperti;

1.     Fakta penyidikan bahwa tersangka yang masih memperoleh tekanan maupun kekerasan dari penyidik untuk memberikan pengakuan kepada penyidik, karena dalam KUHAP sekarang, tata cara memperoleh alat bukti dapat diperoleh melalui intimidasi, tekanan, dan penyiksaan. Sehingga secara umum pengadilan belum memandang  sepenuhnya due process of law  menjadi bagian terpenting dalam sistem peradilan pidana di Indonesia

2.     Berdasarkan pasal 21 KUHAP penahanan dapat dilakukan demi kepentingan penyidik, penuntutan maupun pemeriksaan hakim. Penahanan dapat diartikan sebagai pengekangan dan dalam konteks HAM merupakan suatu perampasan hak kemerdekaan

3.     Fakta dilapangan untuk melaksanakan asas sistem peradilan cepat,sederhana, dan biaya ringan sesuai dengan asas hukum pidana yang dianut, maka akan melaksanakan bentuk crime control model dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, dan

Adapun Due process model dalam KUHAP antara lain;

1.     Pemberian bantuan hukum pasal 55 dan 56 KUHAP bahwa, tersangka berhak memperoleh bantuan hukum dan berhak memilih dan untuk ancaman 5 tahun keatas atau 20 tahun atau hukuman mati, wajib memiliki penasihat hukum dan apabila tidak memiliki penasihat hukum dikarenakan tidak memiliki biaya makan akan diberikan pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka dan setia peenasihat hukum yang ditunjuk untuk bertindak memberikan bantuannya dengan cuma-Cuma

2.     Adanya proses peradilan pasal 10 KUHAP, dimana tersangka atau terdakwa berhak mendapat putusan hakim pengadilan negeri tentang :

a.     Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarga atau pihak lain atau kuasa tersangka

b.     Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan

c.     Permintaan ganti rugi kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau kerluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan

3.     Terdakwa diberikan hak untuk memperoleh atau melakukan upaya biasa( banding pasal 223 KUHAP dan Kasasi pasal 244 KUHAP dan upaya hukum luar biasa demi kepentingan hukum pasal 259 KUHAP dan peninjauan kembali 263 KUHAP.

4.     Tersangka taua terdakwa dapat meengajukan permintaan penagguhan penahanan kepada penyidik ataupun jaksa dengan memberikan jaminan uang atau orang sesuai dengan pasal 31 KUHAP[6]

Menurut Helbert L Packer. Berdasarkan pengamatannya dikatakan bahwa dalam penyelenggaraan peradilan pidana di Amerika Serikat dikenal dengan dua model proses pemeriksaan pidana yaitu Crime control model  dan Due process model, kedua model ini dilandasi oleh Adversary model (Model perlawanan) yang memiliki ciri-ciri :

a.     Prosedur peradilan harus merupakan suatu disputes atau Combanting proceeding antara terdakwa dan penuntut umum dalam kedudukan yang sama dipengadilan

b.     Judge as umpire dengan konsekuensi bahwa hakim tidak boleh ambil bagian dalam pertempuran(fight) dalam proses pemeriksaan di pengadilan, ia hanya berfungsi sebagai wasit yang menjaga agar permainan tidak di langgar, baik oleh terdakwa maupun oleh penuntut umum

c.     Tujuan utama prosedur peradilan pidana adalah menyelesaikan suatu kejahatan yang terjadi

d.     Para pihak harus memiliki fungsi otonom yang jelas, melakukan penuntutan, menolak atau menyanggah dakwaan serta menunjukan fakta yang ada.[7]

Menurut penulis dalam penyelenggaraan peradilan pidana dapat dikaji lembaga atau instansi yang bekerja dalam penegakan hukum yang dalam hal ini Polisi, Jaksa penuntut umum dan Hakim, meskipun dengan tugas yang berbeda-beda dan secara intern mempunyai tujuan sendiri-sendiri, tetapi yang pada hakikatnya masing-masing subsistem dalam peradilan pidana harus saling bekerjasama dan terikat pada suatu tujuan yang sama, hal ini bisa terjadi jika didukung dengan peraturan perundang-undangan yang memadai yang memungkinkan suatu peradilan pidana yang bekerja secara koheren, koordinatif dan integratif serta pengaturan hukum yang memberikan jaminan terhadap hak-hak kemanusiaan.

Menurut Romli Atmasasmita menyatakan bahwa ciri-ciri sistem dalam peradilan pidana antara lain:

1.     Tidak berat pada koordinasi dan singkronisasi komponen-komponen yang membentuk peradilan pidana ( Kepolisian, kejaksaan, dan lembaga pemasyarakatan )

2.     Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen-komponen peradilan pidana

3.     Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian perkara

4   Penggunaan hukum sebagai instrument untuk memantapkan” the administration of justice”

Dalam mewujudkan peradilan pidana yang melindungi serta menjungjung tinggi harkat dan martabat manusia, maka diperlukan sebuah peradilan pidana yang tercermin dalam model peradilan pidana yang berlandaskan pada prinsip-prinsip perlindungan serta mengedepankan hak asasi manusia, karena dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana di Indonesia masih sering tejadi dan menunjukan adanya penyimpangan-penyimpangan dari penerapan crime control model dan Due process model , hal ini tentu saja menimbulkan pesimisme serta sikap tidak percaya masyarakat terhadap proses penegakan hukum serta peradilan pidana di Indonesia. Sehubungan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia akan peradilan pidana yang adil dan tidak memihak yang maka penyimpangan-penyimpangan merupakan permasalahan serius yang dihadapi oleh sistem peradilan pidana di Indonesia

Adapun saran penulis, mengingat hukum selalu berkembang dengan mengikuti perkembangan masyarakat serta perkembangan kejahatan yang kini marak terjadi di Indonesia, maka harus menjungjung tinggi serta mewujudkan Crime control model dan Due process model .



[1] Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Trisakti

[2] Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

[3] Dilihat, Artikel Joseph Fajar Simatupang, Crime control model dan due process model, mahasiswa fakultas hukum-UB, 2017.

[4][4] Dilihat, Tulisan Prof, Eddy O.S Hiariej, Beberapa catatan RUU KUHAP Dalam hubungannya dengan pemberantasan tindak pidana korupsi.

[5] Ibid. Hlm 2.

[6] Dilihat, pasal 10,pasal 21,pasal 31,pasal 55 jo 56, pasal 223,pasal 244,pasal 259, dan pasal 263 KUHAP.

[7] Dilihat, Tulisan, Suprianto SH.M.Hum , Perkembangan sistem peradilan pidana, Fakultas Hukum UNISRI.

Comments