“Pentingnya Partisipasi Publik Dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia”
Oleh : Jovano. A. Apituley & Beckham Jufian Podung
Pemikiran tentang negara hukum telah lama muncul bahkan sebelum terjadinya Revolusi tahun 1688 di Inggris. Latar belakang dari munculnya negara hukum merupakan reaksi terhadap kesewenang-wenangan di masa lampau. Negara hukum beda dengan negara undang-undang, hukum jauh lebih luas daripada undang-undang yang identik dengan aturan dalam format tertulis saja, selain itu negara hukum merupakan perwujudan kepentingan umum bukan individu, karena itu adalah wajar apabila dalam negara hukum terdapat slogan sallus publica suprema lex (kepentingan umum sebagai yang harus diutamakan) dan bukan kepentingan individu khususnya penguasa dalam konsep negara kekuasaan (machstaats) dengan slogan “L’etat c’est moi” negara adalah aku (raja). Dalam perkembangannya terdapat berbagai bentuk negara hukum, misalnya negara hukum formal dan material, dalam konsep negara hukum formal, menurut F.J.Stahl dalam karyanya yang berjudul Philosophie Des Rechts yang dipengaruhi oleh pemikiran negara hukum liberal J.J.Rousseau, unsur-unsur negara hukum meliputi :
1. Adanya jaminan terhadap Hak Asasi Manusia.
2. Penyelenggaraan negara berdasarkan pemisahan kekuasaan.
3. Pemerintahan didasarkan pada undang-undang
4. Adanya peradilan administrasi negara.
Cukup unik sebenarnya apabila kita memperhatikan unsur ketiga dalam negara hukum formal yaitu pemerintahan didasarkan pada undang-undang (wetmatigheid van het bestuur), tujuannya tidak lain agar segenap penyelenggaraan kekuasaan haruslah bersifat limitative (terbatas) yang dibatasi oleh sebuah instrument hukum misalnya undang-undang. Adanya pembatasan kekuasaan atau dalam bahasa William G. Andrews disebut sebagai limited government merupakan inti dari konsep dan latar belakang munculnya negara hukum seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun, dalam pembatasan yang bersifat konstitusional tersebut (artinya sesuai dengan peraturan yang ada) haruslah pula dibentuk dengan kesepakatan yang konstitusional pula.[1] Kesepakatan yang konstitusional inilah yang kemudian tertuang menjadi “hukum acara” pembentukan peraturan perundang-undangan[2] atau yang dalam bahasa lainnya dikenal sebagai procedural due process of law atau dapat pula disebut sebagai hukum formal.
Memang sependek pengetahuan penulis, selama ini yang sering berkembang dan dikenal ialah hukum material bahkan selama ini dalam beberapa penelitian ataupun buku, lebih banyak ahli hukum yang mengkaji misalnya pengujian material ketimbang dengan pengujian formal (lihat buku karya Sri Soemantri dengan judul hak uji materiil di Indonesia), sependek pengetahuan penulis baru ada satu karya ahli hukum terkemuka yang membahas mengenai pengujian formal (formele toetsing recht) karya Jimly Asshiddiqie, karena memang aspek formal pembentukan peraturan perundang-undangan relative masih baru dalam perkembangan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Aspek formal pembentukan peraturan perundang-undangan relative cukup luas yaitu mencakup bentuk hukum, format naskah, penandatanganan dan pengesahan naskah, keberwenangan dan keterlibatan kelembagaan, dan partisipasi masyarakat.[3]
Salah satu aspek penting yang tidak bisa diabaikan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan ialah partisipasi public dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, partisipasi public adalah hal yang esensial sebab, suatu produk perundang-undangan memiliki sifat memaksa (imperative) dan mengikat (erga omnes) terhadap kepada siapa suatu undang-undang ditujukan, misalnya apabila undang-undang dibentuk dengan tujuan dan sasaran kepada pelaku dunia usaha, maka seharusnya pula dalam pembahasan suatu undang-undang dilibatkan pula stake holder terkait agar memang produk perundang-undangan yang dituju memang bermanfaat dan dapat dilaksanakan oleh para pemangku kepentingan yang bersangkutan. Apabila kita melihat disertasinya George Sipa-Adjah Yankee dengan judul “International Patents And Technology Transfer To Less Develop Countries” yang diuji di University of Warwick di Inggris, dalam penelitian tersebut Nampak, dalam undang-undang hak paten di Nigeria dan Ghana (studi kasus) terdapat ketidakmampuan stakeholder untuk melaksanakan ketentuan tersebut, suatu undang-undang yang diciptakan tanpa melihat kemampuan para pemangku kepentingan yang bersangkutan dalam mengakibatkan undang-undang tersebut hanya menjadi tulisan mati (Black Letter Law) karena tidak bisa diterapkan secara optimal. Oleh karena itu pada tahun 2001 seorang ahli bernama Aan Seidmann mengemukakan cara mengidentifikasi dan memecahkan masalah hukum terkait dengan penyusunan produk legislasi kedalam indicator ROCCIPI (rules, opportunity, capacity, communication, interest, process, ideology) indicator ROCCIPI merupakan identifikasi masalah terhadap kemungkinan-kemungkinan yang dapat timbul dalam membentuk suatu produk hukum.
Dalam hal berkaitan dengan partisipasi public, berdasarkan indicator ROCCIPI ini erat kaitannya dengan communication dan process, dalam communication akan diukur sejauh mana suatu produk hukum telah dikomunikasikan kepada pihak terkait, agar pihak terkait memahami dengan benar apa yang diatur berkaitan dengan kepentingan dirinya sendiri dalam suatu undang-undang. Kemudian didalam process akan dinilai apakah suatu produk hukum telah dibentuk dengan prosedur dan ketetapan yang sebenarnya, apabila tidak maka suatu produk hukum akan dinilai cacat dari segi formalnya. Tidak mau tidak, berdasarkan teorinya K.C.Wheare suatu produk hukum tidak lain merupakan resultante kepentingan politik pula, oleh karena itu pembentukannya harus senantiasa memperhatikan partisipasi public pada umumnya dan bukan kepentingan segelintir orang. Adanya mekanisme partisipasi public yang demokratis penting agar tidak terjadi seperti apa yang dikemukan oleh Sherry R. Arnstein dalam A Ladder of Citizen Participation yaitu partisipasi “tokenism” yaitu dimana public tetap dapat berpartisipasi, namun partisipasi tersebut hanya bersifat formalitas belaka dan partisipasi tersebut tetaplah partisipasi namun telah kehilangan esensi partisipasinya (karena hanya bersifat formalitas) padahal menurut Sherry "citizen participation is citizen power".
[1] Lihat Denny Indrayana yang penulis pernah baca dalam salah satu karyanya (judul buku dan tahun terbit sudah lupa)
[2] Lihat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
[3] Jimly Asshiddiqie, Pengujian Formil Undang-Undang Di Negara Hukum, (Jakarta: Konstitusi Press, 2020)
Comments
Post a Comment