Keputusan Pengadilan Negeri Makassar Mengenai Transgender

Keputusan Pengadilan Negeri Makassar Mengenai Transgender

(Kelamin Ganda, ambiguous genitalia)

 (Ditinjau Dari UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan)

Oleh : Dian Pratiwi Ahmad

Editor : Beckham Jufian Podung

            Setiap kita manusia mempunya hak asasi yang melekat pada diri kita masing-masing sejak kita dilahirkan dan tidak dapat diganggu gugat ataupun dihilangkan (non derogable rights). Pada hakekatnya hak asasi manusia itu berlaku universal dan tidak membedakan dari suku, bangsa, ras, ataupun agama. Namun ketika kita melihat fakta yang terjadi baik dalam pemberitaan ataupun yang kita lihat langsung ada beberapa orang yang masuk dalam kaum minoritas. Yang diamana dipengaruhi oleh asper berupa derajatr sosial seseorang, termasuk gender.

Untuk mendefinisikan gender dikenal istilah identitas gender yang dipahami sebagai konstruksi sosial yang membagi individu dalam kategori ‘natural’ menjadi laki-laki dan perempuan dan ini diasumsikan berasal dari tubuh fisik laki-laki dan perempuan (Westbrook, dalam Sanger, 2010:52). Dalam identitas gender telah dijelaskan bahwa yang diakui sebagai gender adalah laki-laki dan perempuan. Hal ini menyebabkan mereka yang tidak bertingkah laku sesuai kategori gender dianggap penyimpang. Dua model pembagian dalam seks dan gender menurut Buttler menjadikan gender merupakan konsekuensi dari seks dimana laki-laki haruslah maskulin dan perempuan haruslah feminin. Hal ini untuk mudah mengidentifikasikan seks mereka (Sanger, 2010:89).[1]

Deklarasi Hak Asasi Manusia tahun 2006 di dalamya menyepakai tentang kesetaraan gender, kependudukan dan HAM. Saat ini kelompok Lesbian, Gay dan Bisek di Indonesia, terutama gay sedang memperjuangkan untuk memperoleh pengakuan atas keberadaannya, termasuk status hukum gender, perkawinannya dengan sesama jenis, dan tuntutan untuk tidak memperlakukan diskriminatif dalam kehidupan sosial. Bukti tentang masalah LGBT dalam masyarakat dilakukan tahun 2013 oleh USAID dan UNDP yang mengungkapkan bagaimana subyek LGBT hidup dengan berbagai keterbatasan sosial (UNDP,2014).[2]

Sebelumnya kita harus memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan seorang yang mempunyai kelamin ganda. Kelamin Ganda (ambiguous genitalia) suatu kejadian langka dimana alat kelamin bayi tidak jelas sebagai alat kelamin laki-laki atau perempuan. Pada penderita kelamin ganda, alat kelamin tidak tumbuh sempurna atau penderita tersebut mempunyai dua buah alat kelamin, yaitu alat kelamin laki-laki dan perempuan. Pada penderita kelamin ganda, alat kelamin yang ada diluar tubuh mungkin tidak sama dengan jenis alat kelamin yang ada di dalam tubuh. Misalnya, meskipun diluar seperti alat kelamin perempuan, namun tubuh bagian dalam tidak punya rahim atau indung telur. Kelainan ini dikenal juga dalam istilah ilmiah yang lain sebagai interseksual, istilah yang mengacu pada pengertian bahwa jenis kelamin terbagi menjadi dua kutub, laki-laki atau perempuan, jadi bentuk kelamin yang meragukan berada diantara dua kutub tersebut. Namun pada perkembangannya, saat ini para ahli endokrinologi[3]lebih sering menggunakan istilah Disorders of Sexual Development (DSD).[4]

Ada sebuah kasus dimana seorang perempuan menagajukan permohonan ke Pengadilan Negeri Makassar untuk mengganti jenis kelaminnya, yaitu seorang siswi yang bernama Sri Wahyuni. Dalam keputusan PN Makassar tersebut alasan kenapa dikabulkan yaitu ketika majelis hakim mendengar kesaksian daripada ahli-ahli yang dibidangnya dan berdasarkan pertimbangan dari majelis hakim, karena mahasiswi tersebut telah melalui tahapan yang ada dengan meminta bantuan ahli salah satu ahli yaitu keterangan dari ahli kelamin dari Universitas Hasanuddin yaitu Profesor Satriono, untuk membuktikan perubahan genetikanya, serta berdasarkan juga keterangan dar psikolog bahwa poptensi dari pemohon akan lebih berkembang dengan status sebagai laki-laki.karena berdasarkan bukti dan hasil pemeriksaan pemohon terbukti berjenis kelamin perempuan.

Perlu kita ketahui bersama bahwa pergantian jenis kelamin bilama atas dasar nafsu adalah diharamkan, namun apabila alasan medis hal tersebut diperbolehkan dalam aturan karena memiliki dua jenis kelamin yang berbeda. Dan setelah itu nama Sri Wahyuni telah diganti dengan nama Muhammad Yusri Wahyudi.

Dan mengenai kodrat seorang laki-laki ataupun perempuan kita ketahui bersama juga sudah sejak ia dilahirkan dari rahim seorang ibu, namun ada hal-hal tertentu dimana seseorang dapar merubah kelamin berdasarkan ketentuan yang ada, juga fakta ataupun alat bukti yang ada. Seperti yang sudah dijelaskan diatas.

Jika kita hubungkan dengan undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 mendefinisikan bahwa “perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentukkeluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa”. Apabila seoarng merubah alat kelamin baik dari perempuan menjadi lelaki atau sebaliknya mereka masing-masing mempunyai hak untuk dapat membentuk suatu keluarga dan tidak ada pembatasan-pembatasan yang membuat mereka tidak dapat menjalani kehidupan mereka seprti biasanya, hal ini tentu juga didukung dengan keputusan Pengadilan yang sudah menetapkan pergantian jenis kelamin mereka, bahwa hal tersebut dikarenakan faktor genetik yang dialami yang sudah melalui proses pemeriksaan.

Bagi mereka yang dimana sudah diberikan keputusan pergantian jenis kelamin hal tersebut tentu 100 % berlaku bagi mereka, disebutkan juga dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 bahwa syarat perkawinan salah satunya atas dasar perjanjian kedua mempelai, dan tidak dikatakan bahwa ada larangan untuk seorang baik laki-laki atau perempuan yang transgender tidak dapat melakukan suatu perbuatan hukum ataaupun melaksankan ikatan perkawinan.

Jadi dapat klita simpulkan bahwa mengenai putusan Pengandilan Negeri Makassar mengenai Sri Wahyuni yang sudah diputuskan menjadi seorang laki-laki, tidak berrtentangan dengan peraturan perundangan ataupun dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 mengnai Perkawinan dalam hal ini menjadi pasangan suami istri apabila ingin melaksanakan pernikahan. Dan sesuai juga dengan konstitusi kita dalam UUD NRI Tahun 1946 pasal 28J ditegaskan bahwa setiap warga negara mempunyai haknya masing-masing dan negara pun wajib untuk melindungi.

 

 

 

 

 

 

 

                    



[3] Endokrinologi adalah spesialisasi ilmu kedokteran yang berkonsetrasi pada diagnose, penanganan dan pencegahan dari penyakit, gangguan dan kondisi yang disebabkan oleh disfungsi hormone sebagai akibat dari disfungsi sel-sel sekresi di dalam system endokrin.

[4]Bambang Widhiatmoko dkk, Legalitas Perubahan Jenis Kelamin Pada Penderita Ambiguous Genitalia Di Indonesia, (Jurnal kedikteran forensic Indonesia vol 15 No. 1 : 2013),hal.13.


 

Comments