Mendobrak Konsep Judicial Dictactorship Dalam Institusi Peradilan di Indonesia

Mendobrak Konsep Judicial Dictactorship Dalam Institusi Peradilan di Indonesia

Oleh : Nigel Lumowa & Beckham Jufian Podung, SH

Editor : Rivana Tesalonika Taroreh

Dalam pengertian umum kita dapat mengartikan bahwa pengadilan adalah tempat atau wadah yang memiliki peran penting untuk mengimplementasikan hukum untuk masyarakat. melihat peranan pengadilan di abad ke-19 menurut Satjipto Rahardjo dikatakan pengadilan dinilai sebagai institusi hukum yang sempit dan terisolasi, maksudnya terisolasi disini adalah pengadilan yang tercorong atau terfokus pada undang – undang yang berlaku, pengertian tersebut sebenarnya dapat menimbulkan sifat kediktatoran pengadilan atau dalam Bahasa William Quirk disebut dengan istilah judicial dictatorship, dikarenakan dalam ungkapan tersebut mengandung makna seakan-akan kekuasaan paling tinggi berasal dari pada pengadilan itu sendiri tanpa memikirkan dinamika kehidupan masyarkat.

Menurut penulis tujuan adanya hukum disuatu negara bukan saja mengenai kepastian ataupun keamanan semata akan tetapi keadilan dan kebahagiaan bagi seluruh masyarakat merupakan instrument yang jauh lebih penting. dalam negara demokrasi yang mengutamakan rakyat pastinya akan sangat bertentangan dengan peranan hukum pada abad ke-19 itu akan tetapi dengan perkembangan zaman yang terus maju akhirnya peranan pengadilan dalam mengimplementasikan hukum tidak lagi terisolasi dari dinamika masyarakat akan tetapi mulai dikenal sebagai pengadilan untuk rakyat karena sudah ada beberapa pengadilan yang mulai menerapkan suatu keputusan yang tidak terlalu fokus pada undang-undang. Namun problematika terkait institusi bernama pengadilan yang didalamnya terdiri dari Mahkamah Agung sampai Mahkamah Konstitusi hingga kini masih menjadi tantangan kita Bersama, sebab sudah menjadi rahasia umum, Lembaga peradilan yang dulunya lahir sebagai sarana mencari keadilan yang sebenar-benarnya berubah seketika menjadi tempat industri hukum berkembang biak. Industri hukum tersebut diperberat dengan keadaan para hakim yang tidak berani untuk “out of the box” dalam menemukan keadilan, sehingga banyak sekali putusan pengadilan yang serba bersifat letterlijk atau teksual dan bukan konteksual. Tetapi walaupun sifat kediktatoran pengadilan mulai dimakan zaman bukan berarti sifat tersebut sudah sirna, buktinya kita dapat melihat dari pada negara kita sendiri dalam praktik hukumnya dalam pengadilan yang terkadang masih saja mengfokuskan setiap keputusan bersifat liberal dan rasional serta bercorong hanya pada undang-undang, disini kita bisa menilai bagaimana hukum mengatur manusia itu sendiri dengan tidak melihat secara seksama makna dari pada hukum itu sendiri. Menurut penulis memberikan keputusan dalam pengadilan bukan saja hanya berdasarkan bukti, logika dan aturan yang berlaku akan tetapi mengingat lagi tujuan hukum yaitu membuat masyarakat Bahagia dan adil maka dari itu di perlukannya cara berpikir dengan perasaan dan spiritual, selain itu juga kemapuan dari pada seorang hakim sangat diperlukan, hakim harus mampu “membentuk” suatu kesimpulan sendiri, “Mencari” fakta yang ada dan “Menerapkan”nya.

Banyak dampak buruk yang disebabkan dari kediktatoran pengadilan dan itu dapat berdampak ke masa depan hukum di negara, penulis pernah membaca suatu kata pengantar yang ditulis oleh I Gede Dewa Palguna, yang di dalamnya pernah menceritakan mengenai kekeliruan U.S. Supreme Court memutus suatu perkara terkait perbudakan di Amerika Serikat yang akhirnya berdampak pada instabilitas Amerika pada saat itu. Artinya memang sudah seharusnya hakim memiliki pengetahuan dan moral yang luas dalam menilai suatu kasus, tidak saja hanya terbelenggu oleh kata-kata dalam Bahasa undang-undang, melainkan berani melihat kedepan serta memiliki kemampuan menilai situasi dan dampak yang diakibatkan oleh putusannya tersebut. Barangkali juga kedepannya para hakim harus juga mempertimbangkan jenis penafsiran yang bernama anticiperende interpretatie atau penafsiran futuristic agar kejadian seperti putusan Mahkamah Agung Amerika terkait perbudakan tidak terjadi lagi dimasa yang akan datang. membahas juga mengenai judicial dictatorship tersebut salah satunya membahas mengenai independensi institusi pengadilan kita, hal ini dibenarkan oleh Alexander Hamilton dalam federalist paper yang dimana ia menyinggung mengenai kekuasaan peradilan  There is no liberty, that power of judging be not separated from the legislative and executive  tidak ada kebebasan, jika kekuasaan mengadili tidak dipisahkan dari kekuasaan legislatif dan eksekutif. Menurut penulis memang sangat diperlukan independensi dari pada pengadilan agar tidak ada yang mengintervensi keputusan ataupun penilaian dari pada pengadilan itu sendiri Maka dari itu kehadiran pengadilan independent di negeri kita masih menjadi cita-cita besar untuk kemajuan negara kita.


 

Comments