Salah Makna Mengenal Prinsip “Meaningful Participation” Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.


 

Salah Makna Mengenal Prinsip “Meaningful Participation” Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Oleh : Beckham Jufian Podung, SH

Editor : Rivana Tesalonika Taroreh 


Sejak Mahkamah Konstitusi memberi putusannya terhadap UUCK (singkatnya untuk Undang-Undang Cipta Kerja), ada hal menarik yang lahir dalam putusan tersebut. Menarik karena boleh dikatakan pengujian terhadap UUCK di MK diuji secara formal dan sukses besar. Kesuksesan itu menjadi semangat para pencari keadilan (Justitia bellen) untuk menggelorakan semangat uji formal UU Terhadap UUD. Lebih menariknya lagi, salah satu hal yang menjadi masalah dalam pengujian formal tersebut ialah berkaitan dengan partisipasi public (lihat tulisan saya) pada dasarnya dalam putusan MK, sebuah produk legislasi memang harus memenuhi prinsip meaningful participation (partisipasi bermakna)mencakup:  a)hak untuk didengarkan pendapatnya, b) hak untuk dipertimbangkan pendapatnya, c) hak untuk
mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan.[1] Menurut hemat saya adalah tepat. Mengapa demikian? Saya tidak akan membahas UUCK secara gamblang namun pada intinya, UUCK memang kekurangan partisipasi public dalam pembuatannya apalagi proses pembuatan Undang-Undangnya tergolong seperti fast legislation (UU Kilat) yang dibuat buru-buru seperti ingin kejar tayang sesuatu, padahal berbeda dengan kasus omnibus law di kanada yang mula-mula menerapkan omnibus law tentang railway agreement 1888, dengan menggbungkan 2 UU tentang perkeretaapian,[2] meski tidak bisa berlaku secara mutatis mutandis dengan UUCK, namun setidanya dapat digunakan studi komparasi bahwa menggabungkan sekian banyak undang-undang menjadi satu undang-undang bukanlah hal yang mudah.[3] Sehingga proses pembuatannya pun bukan segampang membalikkan telapak tangan, oleh karena itu syarat proseduralnya harus dipenuhi termasuk mengenai partisipasi public. Namun, belakangan ini, menurut saya, telah terjadi kekeliruan para pencari keadilan dalam memaknai prinsip partisipasi public, hal ini Nampak dari beberapa undang-undang yang diuji di Mahkamah Konstitusi, bahkan yang konon katanya akan segera diuji di MK apabila sudah disahkan yaitu mengenai RKUHP. Permasalah mengenai RKUHP merupakan masalah yang unik namun lama-lama membuat bosan untuk di tonton. Mengapa demikian? Saya rasa perdebatan mengenai RKUHP yang selama ini tayang disana-sini membuat saya melihat orang-orang yang dalam bahasa belandanya praats als een kip zonder kop (berbicara seperti ayam tanpa kepala) yang artinya saya sering melihat debat-debat dan kajian-kajian yang tidak solutif mengenai RKUHP ini. Padahal sebenarnya saya memilih diam sambil menunggu para Sarjana Hukum Muda dengan judul skripsi mengenai hukuman mati, kohabitasi, dsb yang berbicara. Namun sampai saat ini tidak ada satu pun dari mereka yang berbicara.

Ada beberapa hal yang membuat saya setuju dan tidak setuju mengenai RKUHP ini, pertama, perlu diketahui sejak tahun 1946 dengan undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Wetboek van strafrecht voor nederlands indie yang berubah menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ala Indonesia, sebenarnya tersebar dalam 3 versi yang berbeda, yaitu 1. Versi terjemahan oleh Soesilo, 2. Versi terjemahn oleh Moeljatno dan 3. Versi BPHN.[4] Bayangkan saja, sejak tahun 1946 sampai saat ini ternyata kita belum memiliki KUHP ala Indonesia yang resmi dan asli, bayangkan saja berapa juta orang yang dihukum namun ternyata menggunakan KUHP yang bisa saja ditangan Penuntut umum, penasihat hukum dan hakim memegang versinya masing-masing. Jelas hal ini menuntut kita untuk segera memiliki KUHP ala Indonesia. Namun yang buat saya heran yaitu munculnya narasi mengenai penolakan RKUHP, padahal setiap mahasiswa Hukum harusnya tau ada 3 tujuan hukum menurut Herman Kantorwicz yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Menurut hemat saya menolak RKUHP sama dengan menolak adanya kepastian hukum. Kedua, barangkali narasi yang tepat bukanlah tolak RKUHP melainkan buka dan bahas RKUHP, dalam masalah buka dan bahas RKUHP ini menurut saya bisa menimbulkan perbedaan pendapat yang wajar dalam alam demokrasi kita. Namun masalah mengenai substansinya pun ada pula yang tidak paham, misalnya mengenai pasal seperti zina, kumpul kebo, dsb. Yang cenderung berkaitan dengan individu secara privat. Saya perlu ingatkan apa yang dikatakan Vos dalam leerbooknya mengenai fungsi hukum pidana yaitu “het strafrecht zich richt tegen min of meer abnormale gedragingen” (hukum pidana berfungsi untuk melawaan kelakuan-kelakuan yang tidak normal). Misalnya tadi seperti zinah, pasal zinah sendiri sebenarnya sudah ada dalam KUHP ala Belanda yang diadopsi oleh Indonesia Rumusan delik perzinahan (overspel) yang ada dalam KUHP hanya memidanakan kepada para pelaku zinah yang telah sama - sama atau salah satunya telah terikat oleh perkawinan dan tidak menjatuhi hukuman kepada mereka yang sama - sama masih lajang, itu dirumuskan pada Pasal 284 KUHP.[5] Inilah yang sering membuat saya heran, kalau banyak narasi muncul persoalan mengenai delik overspel yang masih tetap dianut dalam RKUHP, saya ingin bertanya kepada mereka dengan bahasa belanda waar kom je vandaan? (anda dari mana selama ini?) begitupula berkaitan dengan prosedurnya, barangkali ada yang beranggapan bahwa RKUHP minim partisipasi public, entah betul atau salah menurut saya untuk membuktikannya, silahkan disahkan RKUHP dan uji formalkan di Mahkamah Konstitusi, saya ingat betul dalam tulisan saya terdahulu untuk mengingatkan Kembali saya akan mengutipnya lagi “Salah satu aspek penting yang tidak bisa diabaikan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan ialah partisipasi public dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, partisipasi public adalah hal yang esensial sebab, suatu produk perundang-undangan memiliki sifat memaksa (imperative) dan mengikat (erga omnes) terhadap kepada siapa suatu undang-undang ditujukan, misalnya apabila undang-undang dibentuk dengan tujuan dan sasaran kepada pelaku dunia usaha, maka seharusnya pula dalam pembahasan suatu undang-undang dilibatkan pula stake holder terkait agar memang produk perundang-undangan yang dituju memang bermanfaat dan dapat dilaksanakan oleh para pemangku kepentingan yang bersangkutan.”[6] Namun pengertian partisipasi public yang demikian tidak bisa secara apple to apple diterima mentah-mentah. Misalnya menjadi aneh kalau partisipasi public dengan melibatkan stake holder terkait berlaku secara mutatis mutandis dengan RKUHP. Misalnya dalam delik zinah, tidak mungkin DPR melakukan RDP (Rapat Dengar Pendapat) dengan pelaku perzinahan untuk kemudian menanyakan apakah mereka setuju delik tersebut ada di RKUHP atau tidak. Atau tidak mungkin karena dengan RKUHP yang sangat kompleks kemudian bisa berdampak pada seluruh rakyat Indonesia dan karena itu pembahasan RKUHP harus melibatkan 270 Juta orang. Tentunya hal itu sangat konyol dalam sistem demokrasi dan tidak ada negara demokrasi manapun yang dalam membuat seluruh kebijakan publiknya melibatkan seluruh rakyatnya seperti demikian. Dalam konteks RKUHP, menurut hemat saya yang memang harusnya menjadi tim perumus ialah para pakar hukum pidana. Mengapa? KUHP tidak hanya terdiri dari sekedar kumpulan kata-kata saja, melainkan lebih dari pada itu KUHP merupakan kumpulan asas, doktrin, teori dalam ilmu hukum yang berkumpul menjadi satu, oleh karena itu tim perumusnya pun adalah para pakar hukum pidana, namun persoalan legitimasi berlakunya RKUHP tentunya ialah hak dari DPR sebagai representative masyarakat Indonesia, tetapi juga tidak menutup kemungkinan adanya perdebatan public yang edukatif mengenai substansinya.

Namun harus saya tegaskan bahwa RKUHP bukanlah kitab suci yang sempurna, terkadang dalam praktik dan teori terdapat kesenjangan, namun kesenjangan itu harus diperbaiki oleh sub sistem hukum lainnya, oleh karena itu permasalahan penegakan norma hukum sepenuhnya miliki apparat penegak hukum, sebaik apapun rumusan RKUHP, tentu tidak akan lepas dari kesenjangannya didalam praktik, namun dengan apparat penegak hukum dan budaya hukum yang baik, maka niscaya, negara hukum yang dicita-citakan pasti akan tergapai. Percuma kita memiliki KUHP yang sempurna namun kebiasaan suap-menyuap perkara oleh Jaksa, Pengacara, Hakim dan bahkan Polisi masih terpelihara subur.  Percuma kita memiliki KUHP yang melarang zinah, di tiap agama pun zinah tidak dibenarkan oleh Tuhan YME, sedangkan larangan Tuhan saja sering kita langgar apalagi larangan yang diatur di dalam KUHP. Merumuskan RKUHP bukanlah perkara sederhana ditengah masyarakat yang heterogen, penyusunan KUHP tersingkat saja dimiliki oleh Portugis membutuhkan lebih dari setengah abad dalam perumusannya. Dengan demikian memang partisipasi public amat perlu dibutuhkan dalam negara demokrasi khususnya dalam penyusunan suatu undang-undang, perdebatan dengan menggunakan sosial media dan media komunikasi seperti TV dan sebagainya dapat menjadi salah satu sumber kekinian dalam menilai dan menyerap aspirasi masyarakat, meskipun tentunya apa yang disampaikan harus memiliki ratio legis yang jelas dan menurut hemat saya tidak semua orang memiliki kemampuan seperti itu. Namun sekali lagi partisipasi public memang penting untuk menjamin demokrasi tetapi partisipasi public yang tidak edukatif justru bukan menegakkan negara demokrasi melainkan negara demokrasi yang keblablasan.



[1] Lihat Putusan MKRI No. 91/PUU-XVIII/2020

[2] Jimly Asshiddiqie, Pengujian Formil Undang-Undang di Negara Hukum, (Jakarta: KonPress, 2020) Hlm. 8

[3] Secara keseluruhan RUU yang disusun dengan metode omnibus law itu terdiri dari 15 bab dan 174 pasal dari yang sebelumnya 15 bab dengan 185 pasal. Ada 1.203 pasal dari 73 undang-undang terkait dan terbagi atas 7,197 daftar inventarisir masalah (DIM) yang terdampak RUU tersebut. Di akses https://money.kompas.com/read/2020/10/17/073311026/mengapa-uu-cipta-kerja-disebut-omnibus-law?page=all. Pada Tanggal 20 Juli 2022 Pukul 23.50 Wita

[4] J.E.Sahetapy (Kata Pengantar) Dalam Eddy. O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016) Hlm.XVI

[5] Diancam dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan :

1.      Seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel) padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya…

[6] https://reformasidikorupsi.blogspot.com/2021/11/pentingnya-partisipasi-publik-dalam.html

Comments