Reformasi Agraria Antara Ilusi Atau Mitos (Study Kasus Mengenai Petani Desa Kalasey)

Reformasi Agraria Antara Ilusi Atau Mitos

(Study Kasus Mengenai Petani Desa Kalasey)

Oleh : Cliefford Jordy Katili

Editor : Beckham Jufian Podung, SH

 

A.    Penghambatan Reforma Agraria Oleh Pemerintah Terhadap Petani  Desa Kalasey

Indonesia merupakan negara yang luas akan daratan maupun lautan. Daratan di Indonesia kaya sekali akan sumber daya alam yang membantu dalam perkembangan perekonomian negara dan juga memenuhi kebutuhan rakyat yang beragam. Tanah merupakan salah satu sumber utama bagi kelangsungan hidup dan penghidupan bangsa sepanjang masa dalam mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat yang terbagi secara adil dan merata. Maka tanah diusahakan atau digunakan bagi pemenuhan kebutuhan yang nyata. Sehubungan dengan itu penyediaan, peruntukan, penguasaan, penggunaan, dan pemeliharaanya perlu diatur, agar terjamin kepastian hukum dalam penguasaan dan pemanfaatanya serta sekaligus terselenggara perlindungan hukum bagi rakyat banyak, terutama golongan petani, dengan tetap mempertahankan kelestarian kemampuanya dalam mendukung kegiatan pembangunan yang berkelanjutan.[1]

Luasnya wilayah daratan atau tanah di Indonesia, membuat pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sebagai bentuk pengaturan terhadap sistem kepemilikan atas tanah. UUPA merupakan suatu perwujudan reforma agraria di Indonesia. Reforma agraria adalah perombakan dan penetapan kembali sistem penggunaan tanah atau land use planning.[2] Namun walaupun negara sudah memiliki regulasi terhadap pertanahan di Indonesia, masih banyak permasalahan terkait tanah yang terjadi di Indonesia, salah satunya masalah lahan pertanian di desa Kalasey Dua Kabupaten Minahasa Provinsi Sulawesi Utara.

Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara memberikan tanah hibah di desa Kalasey Dua kepada kementrian pariwisata dan ekonomi kreatif melalui SK Gubernur No. 368 Tahun 2021. Kebijakan yang diberikan oleh Pemprov Sulut itu dinilai tidak banyak berdampak kepada masyarakat. Atas dasar itu, mereka menuntut agar memberikan legalitas hukum kepada  petani di lahan pertanian desa Kalasey Dua sebagai bentuk perwujudan reforma agraria. Selanjutnya, setop perampasan ruang hidup masyarakat petani Desa Kalasey Dua atas nama pembangunan. Hentikan segala bentuk intimidasi dan pelemahan terhadap masyarakat petani Desa Kalasey Dua.[3]

 

B.    Pelanggaran Terhadap Hak Petani Desa Kalasey

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Pasal 1 ayat (3) berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Hal itu berarti Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machstaat). Pemaknaan negara hukum ialah negara yang tunduk pada hukum, peraturan hukum berlaku pula bagi segala badan hukum dan alat-alat perlengkapan negara atau adanya jaminan tertib hukum dalam masyarakat untuk memberikan perlindungan hukum masyarakat, di mana hukum dan kekuasaan adalah hubungan timbal balik.[4]

Sebagai negara hukum, setiap penyelenggaran urusan pemerintahan haruslah berdasarkan pada hukum yang berlaku (wetmatigheid van bestuur).[5] Negara hukum merupakan negara yang tindakannya berdasarkan hukum untuk menjamin ketertiban di masyarakat, menjunjung tinggi kedaulatan hukum, melindungi HAM, dan melaksanakan demokrasi konstitusional.[6] Selain itu, penguasa dibatasi oleh hukum sehingga tidak boleh bertindak sewenang-wenang. Berdasarkan hakikat negara hukum, maka ciri-ciri negara hukum adalah sebagai berikut:[7]

1.     Menegakkan kedaulatan hukum;

2.     Adanya perlindungan  HAM;

3.     Kekuasaan negara dibatasi oleh konstitusi dan/atau hukum;

4.     Adanya kekuasaan kehakiman guna penegakan keadilan;

5.     Kekuasaan tidak pada satu orang atau lembaga negara tertentu;

6.     Adanya pelaksanaan demokrasi konstitusional.

Pemerintah seharusnya mampu memperhatikan hukum atau aturan yang berlaku, namun pada kenyataannya pemerintah sering sewenang-wenang dalam membuat kebijakan yang tidak memperhatikan ketentuan yang ada, bahkan tidak memiliki rasa kemanusiaan terhadap masyarakat. Seperti permasalahan tanah di desa Kalasey Dua. Dilansir dari Mediasulut.co, Satryano Pangkey dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manado menyampaikan, pihaknya mengacu kepada kebijakan secara hukum bahwa warga yang telah menguasai itu lebih dari 20 tahun maka seharusnya negara memprioritaskan lahan itu diberikan kepada petani. Hanya saja sampai saat ini, segala upaya yang dilakukan petani tidak ada respon yang baik dari pihak Pemprov Sulut untuk bisa memberikannya.[8]

Seseorang yang menguasai suatu tanah secara sah selama 20 tahun berturut-turut tanpa adanya klaim dari pihak lain, berhak untuk mengajukan pengakuan hak pada kantor pertanahan setempat. Sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat 2 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang berbunyi :

“Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembuktian hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahuluan-pendahuluannya, dengan syarat :

a.     Penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya.

b.     Penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.”

Berdasarkan ketentuan itulah, petani berhak untuk melakukan pendaftaran terhadap lahan tersebut dan pemerintah seharusnya mampu memprioritaskan lahan pertanian di desa Kalasey Dua untuk petani dikarenakan lahan tersebut telah dikelola lebih dari 20 tahun tanpa adanya klaim dari pihak lain namun tiba-tiba pemerintah mengeluarkan SK untuk menghibahkan tanah tersebut. Konstitusi pun menjamin akan hak-hak petani akan lahan pertanian, seperti yang termaktub dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi :

Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Mahkamah konstitusi memberkan tolak ukur terhadap unsur “kemakmuran rakyat”, yang menjadi tujuan dari tindakan “penguasaan oleh negara”. Kriteria tersebut dapat dilihat dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terhadap Undang-Undang Dasar. Dalam putusan a quo dikemukakan empat pokok tolok ukur. Keempat tolok ukur yaitu:[9]

1.     Kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat;

2.     Tingkat pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat;

3.     Tingkat rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam; serta

4.     Penghormatan terhadap hak rakyat secara turun temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.

Lahan pertanian tersebut merupakan mata pencarian pokok sebagian masyarakat di desa Kalasey Dua yang seharusnya diprioristakan dan dikembangan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Sebagaimana tujuan reforma agraria yakni untuk mempertinggi penghasilan dan taraf hidup para petani penggarap, sebagai landasan atau prasyarat untuk menyelenggarakan pembangunan ekonomi menuju masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Jika dirinci tujuan itu menjadi: [10]

1.     Untuk mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil, dengan mengubah struktur pertanahan  secara revolusioner, guna merealisasikan keadilan;

2.     Untuk melaksanakan prinsip “tanah untuk tani” agar tidak terjadi lagi tanah untuk obyek spekulasi dan alat pemerasan;

3.     Untuk memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita yang berfungsi sosial;

4.     Untuk mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapus pemilikan dan penguasaan tanah secara besar-besaran dengan tak terbatas, dengan menyelenggarakan batas maksimum dan batas minimum untuk tiap keluarga;

5.     Untuk mempertinggi produksi nasional dan mendorong terselenggaranya pertanian yang intensif secara gotong royong dalam bentuk koperasi dan bentuk gotong royong lainnya.

Keputusan Pemerintah ini juga bertentangan dengan salah satu asas adalam asas-asas umum pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur) yakni asas keadilan dan kewajaran (principle of reasonable or prohibition of arbitrariness). Asas ini menghendaki agar setiap tindakan badan atau pejabat administrasi negara selalu memerhatikan aspek keadilan dan kewajaran. Asas keadilan menuntut tindakan secara proporsional, sesuai, seimbang dan selaras dengan hak setiap orang. Sedangkan asas kewajaran menekankan agar setiap aktivitas pemerintah atau administrasi negara memerhatikan nilai-nilai yang berlaku di tengah masyarakat, baik itu berkaitan dengan agama, moral, adat istiadat, maupun nilai-nilai lainnya.[11]

 

C.    Kesimpulan

Reforma agraria merupakan suatu cita-cita mulia yang belum tercapai di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah masih saja tidak memperhatikan apa yang menjadi pemaknaan daripada reforma agraria itu sendiri, mereka masih saja sewenang-wenang terhadap petani desa Kalasey Dua, bahkan masih banyak lagi petani diluar sana. Maka dari pada itu, pemerintah haruslah lebih memperhatikan para para petani, tidak hanya dari sudut pandang ekonomi tetapi juga memperhatikan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat.



[1] Subhan Zei, Reformasi Agraria Dari Dulu Hingga Sekarang Di Indonesia, Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara-Fakultas Hukum Universitas Dirgantara Marsekal Suryadana, Volume 9 No. 2, Maret 2019.

[2] I Ketut Oka Setiawan, Hukum Agraria (Bandung: Penerbit Reka Cipta). hlm 145.

[3] Di Akses Dari, https://mediasulut.co/berita-7207-tuntut-cabut-sk-gubernur-368-petani-kalasey-goyang-deprov.html. Pada Tanggal 12 Februari 2022, Pukul 16.15 WITA.

[4] Yudi Widagdo Harimurti, Negara Hukum dan Demokrasi, (Malang: Setara Press), hlm 10

[5] Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Depok: Rajawali Press), hlm 17.

[6] Op.cit., hlm 11.

[7] Encik Muhammad Fauzan, Hukum Tata Negara Indonesia (Malang: Setara Press), hlm 62.

[8] Di Akses dari https://mediasulut.co/berita-7207-tuntut-cabut-sk-gubernur-368-petani-kalasey-goyang-deprov.html, Pada Tanggal 12 Februari 2022, Pukul 19.06 WITA

[10] I Ketut Oka Setiawan, Hukum Agraria (Bandung: Penerbit Reka Cipta). hlm 146.

[11] Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara (Depok: Rajawali Press). hlm 258.


 

Comments