Penerapan Konsep Real Evidence atau Physical Evidence Dalam Perkara Pidana di Indonesia

Penerapan Konsep Real Evidence atau Physical Evidence Dalam Perkara Pidana di Indonesia

(Telaah Kasus Gisel Anastasia)

Oleh : Beckham Jufian Podung

Editor : Vensy. Ch. Eman

 

            Didalam dunia hukum, setiap orang berbondong-bondong menaruh kepercayaannya pada hukum karena pada dasarnya setiap orang berupaya hidup dalam hukum karena ingin menggapai sesuatu yang dicita-citakan (atau merupakan tujuan) oleh hukum itu sendiri. Cita-cita tersebut bisa berupa keadilan (Aristoteles), Kemanfaatan (Jeremy Bentham), Pembangunan Masyarakat (Mochtar Kusumaatmadja), pergaulan hidup yang teratur (Apeldoorn) bahkan bagi para pencari hukum yang ideal, mereka mencita-citakan sebuah keadilan dan kebenaran (Victor Hugo) yang dalam Bahasa Perancis disebut Le Droit, c’est le Juste et Le Vrai[1] Dan tidak sedikit dari mereka yang mengalami kekecewaan besar kepada hukum, karena apa yang dicita-citakan mereka terhadap hukum tidak pernah tergapai.

Dalam suatu perkara Pidana ataupun perdata ataupun Tata Usaha Negara, proses untuk menggapai cita-cita hukum yaitu keadilan dan kebenaran harus melewati suatu proses formil yang bernama hukum acara, hukum acara ialah suatu proses beracara dipersidangan dengan tujuan yang menurut Van Bemmelen yaitu untuk mencari dan menemukan kebenaran, pemberian keputusan oleh hakim, dan pelaksanaan keputusan.[2] Kendati memang tidak mudah menemukan kebenaran, tetapi hukum acara memang seharusnya dilalui untuk mempertahankan kebenaran materiil, perihal kebenaran penulis mengingat sebuah asas hukum yaitu In Criminalibus, Probationes bedent esse luce clariores yang artinya bahwa dalam perkara pidana,bukti-bukti harus lebih terang daripada cahaya. Artinya untuk menemukan keadilan dan kebenaran dalam suatu hukum, suatu “pembuktian” ialah hal yang paling mendasar dan paling wajib dalam memutus benar tidaknya suatu perkara. Perihal Evidence/Bewijs atau dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan bukti, maka perlu dipahami terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan evidence/bewijs. Dari terjemahan Bahasa belanda bewijs, bukti diartikan sebagai sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa.[3] Sedangkan pembuktian diartikan sebagai proses, perbuatan atau cara membuktikan.

Dalam ketentuan KUHAP Di Indonesia, dalam pasal 184 ada 5 alat bukti dalam perkara pidana mencakup keterangan saksi, keterangan ahli, surat, keterangan terdakwa, dan petunjuk. Dalam ketentuan KUHAP Pasal 17 diatur yang namanya teori Bewijs Minimum yaitu ketentuan dalam perkara pidana dimana diperlukan 2 alat bukti dalam proses pemidanaan seseorang. Hal ini pun masih menimbulkan perdebatan mengenai apakah yang dimaksud dua alat bukti ialah secara kualitatif atau kuantitatif. Dua alat bukti yang dimaksud secara kualitatif adalah dua dari lima bukti yang ada dalam KUHAP, Misalnya keterangan saksi dengan keterangan ahli, atau keterangan saksi dengan surat dan seterusnya. Intinya harus ada 2 alat bukti dari 5 alat bukti dalam pasal 184 KUHAP. Sedangkan secara kuantitatif meskipun hanya ada bukti saksi tetapi saksi tersebut terdiri dari 2 orang maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai Bewijs Minimum saksi sesuai pasal 17 KUHAP.

Berkenaan dengan Bewijs Minimum penulis tertarik dalam membahas secara singkat mengenai konsep Real Evidence / Physical Evidence secara faktual. Tentunya Masih segar dipikiran kita bahwa pada menjelang bulan-bulan terakhir di tahun 2020 ada suatu kasus yang viral dimedia social yaitu kasus mengenai beredarnya video porno yang diduga Mirip Gisel Anastasia dan Michael Yakinobu. Salah  satu hal yang paling mendasar dalam menetapkan Gisel sebagai tersangka adalah perihal bukti permulaan. Dalam kasus tersebut, untuk menemukan bukti permulaan kita tidak hanya bisa mengandalkan alat bukti saksi. Selain adegan tersebut direkam dalam ruangan tertutup sehingga sulit mendapatkan saksi mata selain mereka, para saksi dalam peristiwa tersebut  dalam konteks hukum pidana di Indonesia, berpeluang menjadi tersangka dalam kasus tersebut. Satu-satunya bukti yang dimiliki hanya berbekal rekaman video yang dalam konteks hukum pembuktian berlaku universal bahwa rekaman video tersebut adalah Real Evidence atau Physical Evidence Dengan berbekal rekaman video sebgai Physical Evidence, Polri tidak perlu lagi memerlukan pengakuan dari para saksi, tetapi cukup mendengarkan keterangan ahli telematika dan reka wajah untuk menganalisa keorisinilan rekaman video tersebut.[4]

Real Evidence atau Phisycal Evidence ialah suatu bukti adalah suatu bukti yang cukup signifikan dalam suatu perkara pidana tetapi tidak berarti dalam perkara perdata tidak digunakan. Misalnya untuk menentukan keabsahan status hubungan orang tua terhadap seorang anak maka dilakukan tes DNA. Hasil tes DNA ini merupakan Physical Evidence[5]. Dalam teorinya Colin Evans dalam bukunya Criminal Justice Evidence membagi bukti menjadi 2 bagian yaitu Direct Evidence  atau bukti lamgsung dan Circumtantial Evidence atau bukti tidak langsung. Dalam konteks teori hukum pidana, Real Evidence atau Physical Evidence dikategorikan sebagai bukti yang tidak langsung atau Circumtantial Evidence. Bukti ini harus diperkuat oleh kesaksian atau sebaliknya kesaksian diperkuat oleh bukti-bukti lainnya. Dalam konteks hukum pembuktian dikenal istilah Corroborating Evidence yang berarti bukti yang diperkuat oleh kesaksian sebelum dipertimbangkan hakim[6]. Misalnya kesaksian Ahli Telematika dalam kasus yang telah diuraikan sebelumnya atau kesaksian Ahli DNA pada kasus yang telah diuraikan juga sebelumnya.

Kesimpulannya ialah, ternyata meskipun secara yuridis normative ketentuan pidana kita dalam hal bewijstheorie atau teori pembuktian secara general masih kuno dan sudah usang[7] tetapi hukum senantiasa fleksibel melahirkan teori-teori untuk menutupi celah-celah hukum itu sendiri. Akhirnya teori Von Savigny yang dikembangkan dalam tulisan yang terkenal yaitu Von Beruf Unserer Zeit fur Gesetzgebung und Rechtwissenschaft (Tentang Tugas pada zaman kita bagi pembentuk Undang-Undang dan ilmu Hukum) yang mengatakan bahwa “Das Rechts Wird Nicht Gemacht, est ist und Wird mit dem Volke.”[8] Yang berarti hukum itu tidak dibuat melainkan ia tumbuh dan berkembang dalam suatu bangsa, membuktikan kebenaran teorinya dalam praktik kehidupan bernegara saat ini. Memang benar bahwa mencari kebenaran dan keadilan bukanlah perkara yang mudah, mungkin ada baiknya mengingat kembali apa yang pernah diucapkan Mun’im Idries tentang “a secret calling” yaitu sebuah panggilan suci untuk mengungkap sebuah kebenaran, kendati itu memang tidak mudah. Tetapi kebenaran ialah kebenaran dan kebenaran dengan cara apapun harus terungkap.

 

           



[1] R. Subekti dan R. Tjitrosoedibjo, Kamus Hukum. Pradnya Paramita. Jakarta. 2003. Hal. 50.

[2] JM. Van Bemmelen, Strafvodering, Leerbook van het Netherlands, Strafprocesrecht’ s-Gravenhage: Martinus Nihhoft. Hal. 8 dikutip kembali dari Eddy Hiariej, Hukum Acara Pidana. Universitas Terbuka. 2015. Hal. 1.11

[3] Eddy Hiariej, Teori & Hukum Pembuktian, Penerbit Airlangga, Jakarta. 2012. Hal. 3

[4] Ibid. Hal. 14

[5] Ibid. hal. 74

[6] Ibid. hal. 74

[7] Penulis Mengemukakan demikian karena di Indonesia sendiri belum ada pembaharuan hukum yang signifikan dibidang Pidana dan Perdata Misalnya KUHP & KUHPER yang sampai saat ini tak kunjung-kunjung diperbaharui.

[8] Otje Salman, Filsafat Hukum (Perkembangan & dinamika masalah). Refika Aditama, Bandung. 2009. Hal. 45


 

Comments