Pengangkatan Jaksa Agung Sebagai Pejabat Negara oleh Presiden Sebagai Praktik Konvensi Ketatanegaraan di Indonesia



Pengangkatan Jaksa Agung Sebagai Pejabat Negara oleh Presiden

Sebagai Praktik Konvensi Ketatanegaraan di Indonesia

 

Oleh : Beckham Jufian Podung

Editor : Rivana Tesalonika Taroreh

Dalam menjalankan roda pemerintahan berdasarkan amanat yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945,1 Presiden dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dibantu oleh para pejabat negara yaitu oleh menteri-menteri negara dan dibantu oleh pejabat negara setingkat menteri seperti Kepala Staf Kepresidenan, Sekretaris Kabinet, Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Jaksa Agung. Namun, dalam praktiknya pengangkatan pejabat negara lebih kepada pertimbangan politis dibandingkan dengan pertimbangan lainnya, tidak heran apabila pengangkatan pejabat negara terkesan sebagai praktik bagi-bagi jatah kekuasaan, padahal seharusnya sudah lazim dalam proses pengangkatan pejabat negara berlaku prinsip “the right man on the right place”, hal demikian nampak dalam pengangkatan pejabat khususnya pejabat negara yang setingkat dengan menteri seperti kejaksaan agung, dalam pandangan penulis, jabatan Jaksa Agung ialah jabatan politik dibandingkan jabatan berdasarkan profesi, hal ini nampak dalam Pasal 19 ayat (1) UU Nomor 16 Tahun 2004 menyebutkan bahwa Jaksa Agung adalah pejabat negara. Sedangkan Pasal 19 ayat (2) UU Nomor 16 Tahun 2004 menyebutkan bahwa pejabat yang berwenang untuk mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung adalah Presiden, dalam pasal tersebut jelas bahwa merupakan hak prerogatif Presiden untuk mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung. Namun, dalam praktiknya terjadi kesimpangsiuran terkait permasalahan masa jabatan seorang Jaksa Agung yang tidak dijelaskan secara expressis verbis dalam undang-undang Kejaksaan mengenai batas waktu masa jabatan seorang Jaksa Agung, namun dalam Pasal 22 ayat (1) UU Kejaksaan  menjelaskan bahwa :

 

Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena: 

a. meninggal dunia; 

b.  permintaan sendiri;

c.  sakit jasmani atau rohani terus menerus;

d.  berakhir masa jabatannya;

e.  tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

 

Padahal dalam Undang-Undang Kejaksaan tidak dijelaskan secara eksplisit batasan mengenai berakhirnya masa jabatan seorang Jaksa Agung. Maka pada tahun 2010 terjadi problematika terkait masa jabatan seorang Jaksa Agung yaitu pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (periode 2004-2009) terjadi 2 kali reshuffle kabinet. Pada reshuffle kabinet kali kedua, Hendarman Supandji dilantik menggantikan Jaksa Agung Abdurrahman Saleh. Hendarman terus menjabat hingga berakhimya masa bakti presiden, wakil presiden dan Kabinet Indonesia Bersatu. Kemudian pasca pemilu presiden 2009 yang dimenangkan oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono, pada tanggal 20 Oktober 2009 Kabinet Indonesia Bersatu dibubarkan dan pada tanggal yang saran diumumkan pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sekaligus pelantikannya untuk periode 2009-2014. Namun ada yang tidak biasa pada saat itu. Jaksa Agung Hendarman Supandji menjadi satusatunya pejabat yang tidak disebut namanya dalam Keppres pemberhentian menteri-menteri KIB I dan tidak pula pada Keppres pengangkatan menteri-menteri KIB II. Hendarman justru langsung menjabat dan meneruskan tugasnya sebagai Jaksa Agung untuk periode 2009-2014. Hal inilah yang memicu diajukannya judicial review oleh Yusril Ihza Mahendra terhadap Pasal 22 Ayat (I) Huruf d UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI kepada Mahkamah Konstitusi. Menurut Yusril klausul huruf d tersebut tidak jelas sehingga menimbulkan pandangan yang multitafsir (polyinterpretabel) karena tidak menjelaskan dengan pasti kapan seorang Jaksa Agung dianggap berakhir masa jabatannya. Klausul itu dapat saja ditafsirkan seumur hidup selama tidak diberhentikan dan sebagainya. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) sehingga Yusril mengajukan permohonan agar MK sebagai the guardian of constitution dan the final interpreter of the constitution agar memberikan tafsir yang pasti. Pengajuan judicial review itu telah diputus oleh MK dengan Putusan MK No. 49/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (Pasal 22 Ayat (I) Huruf d) yang pada pokoknya amar putusan memberikan tafsir terhadap klausul huruf d sebagai berikut : 

 

“Pasal 22 Ayat (1) Huruf d UU No . 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan RI sesuai dengan UUD 1945 secara bersyarat

(conditionally constitutional), yaitu konstitusional sepanjang dimaknai "masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan

berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau

diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam

periode yang bersangkutan". Penafsiran selain yang sudah ditetapkan mengakibatkan klausul huruf d tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.”

Apabila ditelaah lebih lanjut, sebenarnya praktik pengangkatan Jaksa Agung merupakan konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan, hal ini nampak dalam putusan MK terkait kasus Yusril Ihza Mahendra yang menyatakan bahwa berakhirnya masa jabatan Jaksa Agung, sesuai dengan konvensi ketatanegaraan yang berlangsung sejak tahun 1961, bersamaan dengan pengangkatan seluruh Menteri anggota Kabinet, karena Jaksa Agung adalah bagian dari Kabinet dengan kedudukan setingkat Menteri Negara, sehingga masa jabatan Jaksa Agung adalah mengikuti masa bakti satu kabinet. Jika kabinet dibubarkan, maka demi hukum seluruh anggotanya secara otomatis “bubar” pula.

Hal demikian adalah wajar sebab menurut Donald Rumokoy, konvensi ketatanegaraan selalu ditemukan pada semua sistem ketatanegaraan, terutama di negara-negara demokrasi konstitusional.[1]  Hal ini disebabkan dalam konvensi ketatanegaraan, konvensi akan lebih berfungsi sebagai pelengkap dari konstitusi itu sendiri. Bahkan masih menurut Donald Rumokoy, Konvensi Ketatanegaraan tidak hanya sekedar berguna melengkapi UUD NRI Tahun 1945 yang berlaku, tetapi sekaligus dapat dimanfaatkan untuk mengatasi berbagai kekurangan dalam UUD NRI Tahun 1945.[2] Hal demikian juga berlaku terhadap masa jabatan seorang Jaksa Agung, berdasakan fakta persidangan yang berlangsung di Mahkamah Konstitusi, praktik pengangkatan Jaksa Agung yang dilantik bersamaan dengan pelantikan kabinet oleh Presiden sudah berlaku sejak tahun 1961 dan terus berlanjut hingga era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Meskipun perlu diakui bahwa kelemahan konvensi ketatanegaraan yaitu tidak adanya daya paksa dalam pelaksanaannya, sehingga suatu konvensi dapat saja hilang ketika suatu kebiasaan ketatanegaraan tersebut dirumuskan dalam bentuk normatif. Namun menurut Bagir Manan walaupun dalam kenyataan konvensi tidak dapat dituntut, ditegakkan atau dipaksakan melalui pengadilan, namun tidak berarti dalam semua keadaan pengadilan tidak dapat mengakui keberadaan konvensi, dalam keadaan tertentu pengadilan dapat mempergunakan konvensi sebagai sarana menafsirkan suatu ketentuan dalam undang-undang,[3] in casu masa Jabatan Jaksa Agung Hendarman Supanji, Dalam pandangan penulis, keberadaan konvensi dapat saja dipergunakan dalam hal konkrit apabila :

1.       Terdapat kekosongan hukum (rechtsvacuum) 

2.       Telah terjadi kebiasaan secara terus-menerus terhadap suatu perbuatan yang konkrit (constitutional Habits)

Dalam hal konvensi ketatanegaraan, dengan mengutip pendapat Ivor Jennings, Sri Soemantri menyatakan bahwa konvensi ketatanegaraan yang semula berasal dari preseden itu timbul karena adanya sebab yang dapat dimengerti dan diterima secara umum dalam suatu kondisi politik yang ada. Dengan merujuk pernyataan Ivor Jennings nampak bahwa syarat utama suatu konvensi ialah harus adanya kejadian yang terjadi secara berulang-ulang, namun hal tersebut tidaklah selalu demikian, sebab adapula konvensi yang terjadi tanpa adanya kejadian konkrit yang terjadi secara berulang yang disebut dengan express agreement. E.C.S Wade and G. Philips “Convention are mixture or rules based on  custom and expediency but sometimes their source is express agreement”5 Apabila dihubungkan dengan kasus yang telah dijelaskan sebelumnya, maka praktik pengakatan Jaksa Agung sejak era tahun 1961 merupakan kebiasaan ketatanegaraan yang terjadi secara berulang-ulang sehingga dalam pandangan penulis adalah tepat apabila Mahkamah Konstitusi memutus demikian yaitu dengan memaknai masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Presiden dalam periode yang bersangkutan, karena selain tidak dijelaskan secara expressis verbis dalam UU Kejaksaan, kelemahan tersebut sebenarnya telah diakomodir oleh Konvensi Ketatanegaraan sebagai pelengkap UUD NRI Tahun 1945, dalam pandangan penulis bukan hanya sebagai pelengkap UUD NRI Tahun 1945, tetapi juga merupakan pelengkap konstitusi dalam arti luas.




[1] Donald Rumokoy, Praktik Konvensi Ketatanegaraan di Indonesia Kajian Perbandingan di Inggris, Amerika Serikat dan Belanda, (Jakarta: Media Prima Aksara, 2011) Hlm. 4

[2] Ibid Hlm. 5

[3] Bagir Manan, Konvensi Ketatanegaraan (Yogyakarta: FH UII PRESS, April 2006) Hlm. 49 5 Op.Cit Hlm. 10

Comments