Mendobrak Kewibawaan Hukum (Upaya Membumikan Hukum Progresif di Dunia Hukum)

Mendobrak Kewibawaan Hukum

(Upaya Membumikan Hukum Progresif di Dunia Hukum)

Oleh : Beckham Jufian Podung

Editor : Rivana Tesalonika Taroreh

 

Hukum adalah dunia dimana terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan dalam berbagai sisinya, entah sejak kapan hukum itu lahir yang pasti sejak awal mula manusia hidup dalam sejarahnya misalnya kalau kita melihat dalam kisah-kisah yang diceritakan dalam Kitab Suci, sejak awal manusia pertama, hukum telah ditetapkan tetapi pula langsung dilanggar yaitu Ketika Adam dan Hawa melanggar perintah Tuhan untuk tidak memakan buah yang ada di Taman Eden. Mungkin sejak itulah manusia mulai melanggar hukum hingga kini, sebab itu hukum berfungsi untuk menegakkan etika moral setiap manusia untuk bertindak sesuai dengan rambu-rambu kebajikan yang telah dinormatifkan, namun tentu saja itu tak cukup, karena itu diperlukan upaya paksa dalam menegakkan sistem norma yang dibentuk yaitu lewat aparat penegak hukum. Namun, tidak sedikit dari para aparat penegak hukum pun tak mampu untuk menegakkan hukum setegak-tegaknya, maka berbagai upaya muncul untuk mencari solusi dibalik lemahnya sistem hukum yang kita bangun, baik lewat menata Lembaga penegak hukum, maupun meramu norma untuk semakin baik. Namun, tentu saja itu bukan pemikiran yang baru, sekedar meramu norma dan merekonstruksi Lembaga penegak hukum yang baik belum cukup membuat kita keluar dari dilemma penegakan hukum, oleh karena itu dewasa ini, arah pemikiran kita haruslah diubah menjadi semakin progresif dan responsive dengan menghidupkan gagasan hukum progresif dan responsif dalam dunia hukum. Saya tidak akan menjelaskan kembali apa itu hukum progresif, sebab dalam hemat saya, sudah selayaknya mahasiswa yang menyandang gelar sarjana hukum wajib mengetahui arti dan makna hukum progresif, sebab bagi saya dalam dunia hukum yang semakin modern, para ahli seharusnya paham betul apa itu hukum progresif yang digagas oleh Prof. Tjip, karena itu sangat mengherankan bagi saya ketika saya melihat para sarjana hukum yang dengan bangganya menyandang gelar sarjana hukum berlapis gelar cum laude tetapi tidak mengetahui apa itu hukum progresif, jangankan hukum progresif barangkali gagasan hukum responsive yang dikemukakan oleh Philippe Nonet and Phillipe Selznick dalam bukunya yang berjudul Law & Society in Transition: Toward Responsive Law yang terbit sejak tahun 1978 yang sering disebut-sebut dalam disertasinya Prof. Mahfud MD juga tidak diketahui, lantas mau jadi sarjana hukum yang seperti apa kita ini? Pada tahun 70-an hukum Amerika mengalami krisis yang serupa.  Bahkan sebenarnya sampai hari ini masih berlangsung karena dan belum bisa diatasi secara memuaskan. Krisis tersebut dirasakan mulai dari kalangan akademi sampai ke praktek.  Dua dunia tersebut boleh diwakili oleh artikel David M. Trubek di tahun 70-an yang mengajukan pertanyaan “is law dead?” (dalam “Toward A Social Theory of Law: An essay on the sudy of law an development”, 1972). Di ujung yang lain, advokat senior Gerry Spence menulis buku “With Justice for None” (1989).  Buku tersebut memberikan kritik yang menarik terhadap praktek hukum di Amerika yang dinilainya kelam.  Bahkan sampai menjelang akhir abad kedua puluh pun publik Amerika masih belum bisa mengecam sistem hukumnya yang banyak menunjukkan ketidakadilan. Barangkali demikian pula di Indonesia, maraknya ketidakadilan mungkin disebabkan oleh sarjana hukum kita yang gagal paham sebab salah dibentuk sejak masih mengeyam pendidikan di strata-1.

Oleh karena itu, gagasan hukum progresif dan responsive harus menjalar hingga kepelosok dunia hukum khususnya di Indonesia. Hukum progresif bukan berarti hukum dengan anarkisme dan keblablasan, hukum progresif hadir untuk menjawab bahkan mendobrak kekakuan hukum positif, karena itu saya berani mengatakan bahwa ahli hukum seharusnya progresif dan responsive, sebab tanpa hal tersebut, hakim hanya akan menjadi pelaksana undang-undang secara murni dan konsekuen, tanpa memusingkan perkara apakah adil atau tidak adil, selama memenuhi delik maka harus dipidana, konsep seperti itu adalah konsep klasik. Saya heran dengan mahasiswa yang sering saya jumpai dalam berbagai tulisan (skripsi, tesis bahkan disertasi) selalu menyebut bunyi Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 yaitu Indonesia adalah negara hukum. Apakah makna negara hukum tersebut? Apakah negara hukum sama dengan negara undang-undang? Seharusnya sebagai negara hukum kita hadir sebagai negara meminjam sedikit istilah Prof. Satjipto Rahardjo yaitu “Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya” orang awam seharusnya tidak perlu takut berhadapan dengan masalah hukum, selama dalam benaknya hakim, jaksa bahkan polisi memiliki pemikiran untuk menegakkan negara hukum sebagai instrument kebahagiaan rakyat, maka setiap rakyat tidak perlu takut berurusan dengan penegak hukum. Namun, sejauh ini rakyat takut berurusan dengan hukum sebab pasti ujungnya UUD (Ujung-Ujung Duit), apakah benar asas dalam hukum acara yaitu asas berperkara cepat dan biaya ringan secara murni dan konsekuen diterapkan? Oleh karena itu saya ingat apa yang dikatakan oleh Prof. Tjip bahwa “hukum bukanlah suatu skema yang final (finite scheme), namun terus bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Karena itu, hukum harus terus dibedah dan digali melalui upaya-upaya progresif untuk menggapai terang cahaya kebenaran dalam menggapai keadilan.”

Tujuan utama dari hukum progresif ialah menghadirkan keadilan. Sebenarnya, saya sedikit risih melihat beberapa orang yang dengan lantang menyuarakan hukum progresif, namun, tujuannya ialah untuk kepentingan individu, dalam hemat saya, hukum progresif hadir untuk kepentingan umum, bukan karena kepentingan satu bahkan dua orang saja. Hukum progresif tidak hadir untuk mendobrak ketentuan hukum tanpa batas, dalam hal demikian itu bukan hukum progresif, yang saya maksudkan dengan hukum progresif ialah hakim berani tidak hanya sekedar menerapkan undang-undang tetapi menemukan keadilan dibalik undang-undang, hakim tidak hanya membaca undang-undang secara gramatikal, tetapi membaca suatu undang-undang meminjam istilah Ronald Dworkin yaitu membacanya secara moral (moral reading). Saya ingat dahulu, sewaktu dikelas saya secara pribadi pernah berdebat mengenai esensi hukum, menurut saya sanksi bukanlah esensi dari hukum, sedangkan bagi yang lain tidaklah demikian. Saya rasa itu hanyalah perdebatan berdasarkan retorika belaka, sebab saya rasa semua ahli hukum menyadari bahwa hukum tidaklah selalu berkaitan dengan sanksi, hukum itu luas, dan sanksi bukanlah hal yang esensial dalam hukum. Belakangan pendapat saya tersebut didukung oleh Prof. Peter Mahmud Marzuki ketika saya membaca karya-karya beliau, sebab sederhananya, bahkan norma tertinggi kita pun yaitu UUD NRI Tahun 1945 tidak memuat sanksi sama sekali, lantas apakah UUD NRI Tahun 1945 dapat kita katakan bukan hukum? Tentu tidak demikian. Oleh karena itu saya terus mendorong para ahli hukum untuk berani berpikir progresif, tetapi juga responsive, berpikir bukan hanya sesuai dengan apa yang ditulis dalam norma, melainkan mencari keadilan dan kebenaran dibalik suatu undang-undang.


 

Comments