“Urgensi Landasan Yuridis Terhadap Tindakan Nekrofilia
Atau Kejahatan Pemerkosaan Mayat”
Oleh : Beckham Jufian Podung
Editor : Fredrik Gregorio Reza Tumbuan
Saat ini perkembangan dunia semakin pesat dengan berbagai kemajuan disetiap sector yang ada, misalnya; kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berdampak pada semakin melekatnya kehidupan manusia yang satu dan manusia yang lainnya tanpa Batasan ruang dan waktu. Namun, perkembangan dunia yang semakin kompleks tentunya tidak hanya berdampak pada hal-hal positif saja, melainkan apabila disalahgunakan maka kemajuan global akan berdampak negatif terhadap apa saja yang positif didalam perkembangan global saat ini, termasuk didalamnya yaitu perkembangan hukum.
Didalam dunia hukum sendiri, terjadi berbagai perkembangan terhadap teori-teori klasik misalnya pada tahun 1977 muncul perspektif baru dalam sector keadilan seperti munculnya gagasan keadilan restorative (restorative justice) yang diperkenalkan oleh Albert Eglash Sekitar tahun 1977[1] meskipun di Indonesia gagasan ini tergolong baru dan hanya diterapkan dalam pidana anak. Selain itu, perkembangan gagasan hukum modern Nampak dalam berbagai sector lainnya misalnya dalam bidang Hukum Tata Negara, pasca reformasi dan amandemen Konstitusi muncul berbagai gagasan seperti Green Constitution, Blue Constitution bahkan penulis pun pernah mengemukakan gagasan mengenai White Constitution dan Theology Constitution. Oleh karena itu memang apabila para sarjana hukum saat ini tidak berinovasi, tentunya perkembangan hukum akan menjadi lambat dan konsep keadilan akan senantiasa kaku.
Namun, disatu sisi, selain hukum berkembang kearah positif, hukum pula tentunya bisa berkembang kearah negatif, oleh karena itu tidak mengherankan apabila meski hukum kita kian modern tetapi hal demikian tidak menjamin bahwa yang menang dalam suatu proses pengadilan ialah mereka yang benar. Bahkan, penulis tertarik dengan sebuah artikel yang pernah dibuat oleh Mahfud MD berjudul “Sudah habis teori digudang” yang mengisahkan seorang mahasiswa pascasarjana UI yang bertanya mengenai konsep atau teori apa lagi yang bisa dipakai untuk keluar dari krisis ini? Lantas beliau menjawab sudah habis teori digudang. Artinya sudah tidak ada lagi teori yang tersisa untuk mencari jalan keluar yang paling tepat untuk menyelesaikan masalah hukum yang kian kompleks.[2] Salah satu permasalahan hukum yang kian kompleks menurut penulis yaitu permasalahan moralitas hukum.
Oleh karena itu, dengan semakin berkembangnya hukum, maka dampak negatif perkembangan hukum pun ikut berkembang, bahkan dapat dikatakan bahwa saat ini terjadi berbagai modus operandi yang semakin modern antara kejahatan yang satu dengan kejahatan lainnya. Namun, disatu sisi kekakuan hukum menjadi masalah utama dalam upaya penegakan keadilan yang seadil-adilnya, banyak ahli hukum terjebak dalam paradigma positivism hukum yang berpandangan bahwa hukum itu harus dapat dilihat dalam ketentuan undang-undang, karena dengan itulah hukum dapat diverifikasi.[3] Namun, legislator kita tidak akan mampu mengubah satu ketentuan perundang-undangan secara singkat namun tepat. Oleh karena itu hukum harus mengalir layaknya air, meskipun dibatasi secara yuridis dalam bentuk normatifnya, namun, hukum harus berupaya menemukan jalan keluarnya apabila ketentuan normative itu tidak mampu memberi solusi. Misalnya saja salah satu bentuk kekakuan hukum terdapat dalam kejahatan pemerkosaan terhadap mayat atau yang dikenal dengan nekrofilia.
Sebenarnya apabila diselidiki, tidak ada ketentuan yang secara expresses verbis atau secara tegas mengatur mengenai pemerkosaan terhadap mayat. Karena hukum tidak mengenal mayat sebagai subjek hukum, kepada subjek hukum sendiri melekat Hak dan Kewajiban yang merupakan bagian inti yang dimiliki oleh subjek hukum, sebagaimana kita tahu, subjek hukum sendiri ialah yang menyandang hak dan kewajiban. Sebagai penyandang hak dan kewajiban, manusia dianggap memiliki jangka waktu untuk penyandangan hak dan kewajiban tersebut. Bila mana ia telah meninggal dunia, secara umum yang di ketahui hak dan kewajibannya tidak lagi melekat pada diri manusia tersebut[4] dan karena itu, seorang yang meninggal dunia tidak lagi menjadi subjek hukum, sedangkan, misalnya Merujuk pada rumusan Pasal 285 KUHP, maka yang dimaksud dengan perkosaan adalah tindakan atau perbuatan laki-laki yang memaksa perempuan agar mau bersetubuh dengannya di luar perkawinan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan.[5] Maka Tindakan pemerkosaan terhadap mayat pun tidak dapat dikenakan ketentuan demikian, karena maksud dari pasal 285 KUHP mensyaratkan adanya Tindakan paksaan dan mensyaratkan klasifikasi sebagai subjek hukum didalam pasal 285 KUHP.
Hal ini tentunya mengakibatkan kekosongan hukum (rechtsvacuum) apabila kemudian kejahatan ini terjadi dan dibawah kedalam ranah pidana, sedangkan KUHP hanya memberi ancaman pidana terhadap kejahatan pencurian mayat di makam yang diatur dalam pasal 180 KUHP yang berbunyi “Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum menggali atau mengambil jenazah atau memindahkan atau mengangkut jenazah yang sudah digali atau diambil, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah"[6] padahal kejahatan nekrofilia tentunya berbeda dengan kejahatan konvesional dalam pasal 285 maupun 180 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Oleh karena itu sebenarnya terdapat 2 solusi untuk menyelesaikan kekakuan KUHP tersebut yaitu pertama, dibuat aturan khusus yang mengatur mengenai nekrofilia lewat delik khusus (spezialle delicten) atau yang kedua yaitu dengan penafsiran hukum. Dua solusi tersebut pada dasarnya adalah logis, terutama solusi pertama yang berkaitan dengan negara bersistem hukum civil law, tetapi gagasan yang kedua juga tidak kalah penting yaitu lewat interpretasi hukum, interpretasi dimungkinkan apabila hukum positif tidak mampu mengakomodir tujuan hukum yaitu keadilan, penafsiran atau interpretasi hukum dalam perspektif epistemology harus dimaknai tidak hanya sebatas sebagai penerapan atau aplikasi norma-norma hukum dalam kerja pikir atau kegiatan berpikir hakim untuk menemukan makna hukum setelah terjadinya kasus hukum (legal case bound) apabila ada keraguan terkait norma hukum yang harus diberlakukan dalam suatu kasus konkret dan hakim harus membuat keputusan (decision making) karena pada dasarnya hakim tidak boleh menolak perkara dan harus memutuskan (res judicata pre veritate habitur).[7]
Karena itu dengan dua solusi itulah penulis mengharapkan para insan juris dapat menemukan alternatif lainnya untuk mencari solusi bersama dalam rangka penyelesaian kejahatan nekrofilia dan bahkan dapat digunakan untuk memecahkan masalah hukum lainnya yang tidak dapat diselesaikan secara normative.
[1] Lihat Wawancara Bersama Prof. Eddy Hiariej Dalam Restorative Justice, Siapkah Di Indonesia? - MELEK HUKUM, Kompas TV 1 Mei 2021
[2] Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009) Hlm. 329
[3] H.L.A.Hart, Hukum dan Moral Basis Epistemologi Paradigma Rasional, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2017) Hlm.3
[4] Febriansyah Dwi Aryanto, Perspektif Mayat/Jenazah Dalam Hukum Pidana Dan Perdata
[5] Lihat Pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
[6] Lihat Pasal 180 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
[7]Diah Imaningrum Susanti, Penafsiran Hukum Teori dan Metode, (Jakarta: Sinar Grafika, 2019) Hlm.VI
Comments
Post a Comment