“Yang Banyak Belum Tentu Yang Benar”
(Sebuah Kajian Efektivitas Demokrasi di Indonesia)
Oleh : Beckham Jufian Podung
Editor : Arbirelio Walukow
Indonesia pada 17 Agustus 2021 ini telah genap berusia 76 Tahun Kemerdekaannya, tentu masih segar dalam ingatan kita tentang bagaimana “the Real People Power In Indonesia” menunjukkan jati dirinya, yaitu memang betul bahwa kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan sesuai dengan apa yang dikatakan dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan “Short Story” perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Oleh karena itu, penulis menegaskan bahwa Kemerdekaan Bangsa Indonesia adalah murni karena perjuangan rakyat Indonesia sendiri dan bukan karena pemberian suatu negara. Momen apik kemerdekaan inilah yang merupakan salah satu contoh yang barangkali luput dari perhatian kita yaitu suatu peristiwa dimana kedaulatan rakyat adalah hal yang terutama dalam suatu bangsa. Oleh karena itu, sebenarnya menurut penulis, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan momen demokrasi pertama di Indonesia sejak merdeka. demokrasi secara etimologi diartikan sebagai rakyat yang memerintah atau rakyat yang berdaulat, pengertian rakyat yang memerintah atau berdaulat itulah yang sering diidentikan misalnya dengan momen pelaksanaan Pemilihan Umum, padahal demokrasi dalam arti yang sesungguhnya yaitu segala tindakan apa saja yang menegaskan kedaulatan rakyat itu sendiri sebenarnya merupakan momen demokrasi itu. Oleh karena itu, penulis sendiri berasumsi bahwa peristiwa historis tahun 1945 dan 1998 merupakan salah satu bentuk demokrasi itu sendiri. Sehebat apapun para penguasa, selincah apapun suatu sistem hukum, ujung-ujungnya peristiwa Kemerdekaan tahun 1945 dan Reformasi 1998 sekali lagi menegaskan bahwa, tidak ada seorang pun ditanah air ini yang dengan kekuasaannya bertindak semena-mena terhadap rakyat itu sendiri.
Kini bangsa kita akan berusia 76 Tahun sejak Kemerdekaan dan 23 Tahun sejak Reformasi, diluar dari 2 peristiwa sejarah tersebut, salah satu bentuk pelaksanaan demokrasi sesuai dengan amanat UUD NRI Tahun 1945 pasal 1 ayat 2 yang mengatakan bahwa kekuasaan ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD, ada pula peristiwa 5 Tahunan yang sering dialami di Indonesia yaitu pelaksanaan pemilihan umum. PEMILU atau Pemilihan Umum baik Pemilihan Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR/DPD/DPRD Bahkan Pemilihan Kepala Daerah Provinsi, Kabupaten/Kota bahkan sampai ke desa, merupakan bentuk pelaksanaan bunyi UUD dengan frasa “kedaulatan berada ditangan rakyat” oleh karena itu momen demokrasi tersebut ialah momen dimana setiap rakyat menggunakan haknya untuk menentukan arah dan kebijakan negara dengan memilih pemimpin yang ada.
Pelaksanaan pemilu sendiri pertama kali dilaksanakan di Indonesia sejak kemerdekaan ditahun 1955 meskipun sebenarnya era belanda, pada tahun 1927 Indonesia sendiri sudah pernah menerapkan pemilu. Pemilu Tahun 1955 ialah pemilu dengan rezim multi partai dan praktik pemilu sendiri terus berlanjut hingga ke tahun kemudian. Sayangnya, tampaknya demokrasi sendiri telah dimodifikasi oleh penguasa sehingga sejak era orde baru, pemilu layaknya antara ada dan tiada. Ia ada karena memang dalam praktik dilaksanakan, namun ia tiada karena penguasa waktu itu kerap mempolitisasi pemilu itu sendiri, misalnya seperti adanya paksaan kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS) untuk wajib memilih partai tertentu. Alhasil pemilu senantiasa melahirkan “the single winner” dalam kontestasinya. Padahal, pemilu sendiri sebenarnya merupakan momen kontrol rakyat terhadap penguasa dan bukan sebaliknya. Selama kurun waktu 2 dekade, praktik ini terus menerus menggoroti demokrasi di Indonesia, katanya demokrasi namun rakyat sering ditindas. Hasilnya karena fungsi kontrol rakyat sendiri lemah, selama 2 dekade tersebut kita hidup didalam bayang-bayang otoritarianisme. Rakyat dibungkam lewat kritik yang dikunci, pers dibrendel dengan alasan bahwa pers haruslah merupakan pers Pancasila, Oraganisasi Masyarakat maupun kemahasiswaan harus berasaskan Pancasila sebagai landasan ideologi dari suatu organisasi, hukum dipermainkan dengan slogan “melaksanakan UUD dan Pancasila secara murni dan konsekuen” itulah yang menjadi Propaganda dari era orde baru sehingga ini menjadikan Indonesia harus berasas Tunggal yaitu Pancasila,
Sejak era Reformasi tahun 1998, tuntutan untuk kembali menegaskan kedaulatan rakyat kian bergulir, dan inilah hasilnya, kini kita hidup dizaman demokrasi, semuanya demokrasi, dimana-mana demokrasi, disekolah, kelompok belajar, gereja, masjid, keluarga, kantor, dan sebagainya semuanya telah menerapkan demokrasi dalam sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun, kini tampaknya demokrasi secara perlahan-lahan mulai menunjukkan sisi kelemahannya, hal ini Nampak misalnya maraknya Money politic di Indonesia, adanya politik uang sebenarnya menunjukkan bahwa kita sebenarnya belum matang untuk mengenal apa itu demokrasi, karena demokrasi yang sesungguhnya tentu tak bisa dibayar hanya dengan uang 200 ribu, atau beras 5 kilogram, demokrasi ialah perjuangan “darah” anak bangsa, tidak mudah meraihnya sejak tahun 1945 dan 1998, tidak sedikit korban jiwa yang berjatuhan demi sebuah kata bernama “demokrasi”, maraknya politik uang sebenarnya merupakan pengkhianatan terhadap demokrasi itu sendiri, hal ini diperburuk dengan ongkos politik yang kian lama kian mahal.
Penulis sendiri sering terlibat dalam beberapa aktivitas perpolitikan yang ada di Indonesia, misalnya di Sulawesi Utara bahkan penulis pernah berbincang dengan salah satu paslon yang mengatakan bahwa untuk tingkat Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur saja dia harus memakan biaya 150 sampai 200 miliar. Mahalnya ongkos politik mengakibatkan jika Paslon/Caleg yang terpilih harus memikirkan cara bagaimana mengembalikan modalnya kembali, belum juga uang yang harus disetorkan pada Parpol, karena selain dari modal sendiri para Paslon juga mendapatkan uang sebagai tambahan untuk ongkos politik mereka dari yang penulis sebut dengan “Cukong” sehingga setelah terrpilih Paslon harus membalas “Jasa” yang diberikan sehingga terjadilah praktik bagi-bagi proyek. Maka jangan heran apabila banyak pejabat yang kini ditangkap karena korupsi, bagaimana mungkin kita membenah sistem birokrasi kita apabila sistem demokrasi kita pun belum matang.
Ini tentunya bukan hal yang menggembirakan untuk demokrasi itu sendiri. Sedini mungkin kita harus berbenah, entah para paslon ataupun para pemilih harus sadar akan makna dari demokrasi itu sendiri. Selain itu demokrasi diperparah misalnya dengan praktik yang serupa namun tak sama yaitu praktik “constitutional dictactorship”. Sebenarnya praktik constitutional dictactorship merupakan praktik yang cenderung berkaitan erat dengan negara dalam keadaan pengecualian, namun tampaknya praktik pemimpin di Indonesia sendiri kini mulai menerapkan praktik constitutional dictatorship dalam negara diluar keadaan pengecualian. Misalnya, sudah menjadi seperti ´kebiasaan´ bahwa apabila terjadi pergantian rezim kepemimpinan, para kepala dinas, kepala badan dan para pejabat dimanapun senantiasa takut jangan sampai diganti oleh misalnya Gubernur, Bupati dan Walikota terpilih nantinya yang barangkali waktu pemilihan memiliki pandangan politik yang berbeda. Hal ini jelas merupakan pengkhianatan terhadap demokrasi, mengapa? Karena seharusnya setiap pejabat dinegara didesain untuk berkompeten dan memiliki rasa tanggung jawab terhadap rakyat, dan menganggap bahwa siapapun pemimpin mereka nanti, dia merupakan mitra kerja para pejabat yang bekerja dan mengabdi hanya untuk rakyat dan bukan kepada Bupati, Walikota dan Gubernur semata dan bahwa pergantian pejabat senantiasa dilakukan berdasarkan kompetensi, bukan karena siapa dipilih dan memilih siapa. Terlebih parah lagi, yang dalam observasi penulis mendapati bahwa, di Indonesia, sejak reformasi, politik di Indonesia cenderung bermain terlalu jauh kedalam sistem beragama. Tidak sedikit para calon pemimpin ditingkat manapun, dalam setiap pencalonan sering mengunjungi para pemimpin gereja, kiai, tokoh-tokoh agama, selain untuk meminta agar didoakan namun pula secara ´tersirat´ tentu mengharapkan dukungan, namun penulis memaklumi bahwa tidak salah apabila mereka pergi meminta restu dan doa, yang jadi salah apabila baik gereja, masjid dan lain sebagainya digunakan sebagai alat kampanye untuk memeroleh dukungan massa baik secara hukum ataupun secara etika. Bahkan tidak sedikit para pemuka agama ditiap momen pemilu beralih profesi dari pemuka agama menjadi juru kampanye. Sangat disayangkan, memang bahwa betul kita bukan negara sekuler seperti Amerika dan India, dimana urusan negara dan agama wajib dipisah. Namun bukan berarti bahwa negara yang non sekuler bisa pula memainkan agama sebagai alat politik. Sekali lagi, penulis sangat menyayangkan hal yang satu ini.
Dari berbagai permasalahan demokrasi tersebut, dapat ditarik satu benang merah yaitu, meskipun banyak pemimpin yang lahir dari demokrasi, namun yang banyak belum tentu yang benar sedangkan sebaliknya pula, yang benar belum tentu banyak. Artinya yang menang pemilu belum tentu merupakan yang tepat untuk memimpin, sebaliknya pula yang kalah dalam pemilu bisa jadi mereka adalah pemimpin yang tepat sebenarnya. Hal ini sebenarnya telah menggeser paradigma vox populi vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Mungkinkah Tuhan telah salah memilih orang? Atau kita yang sembarangan memilih pemimpin hanya karna disogok dengan uang 200 ribu, dsb. Padahal apabila suara kita adalah suara Tuhan apakah dengan menerima sogokan artinya suara Tuhan pula telah ikut disogok? Setiap kita kini wajib berkontempelasi mengenai hal tersebut.
Comments
Post a Comment