Tebak-tebakan Mekanisme Impeachment Presiden & Wakil Presiden di Indonesia (Telaah Sebuah Jackpot Tak Terduga Dalam UUD 1945)


 

Tebak-tebakan Mekanisme Impeachment Presiden & Wakil Presiden di Indonesia

(Telaah Sebuah Jackpot Tak Terduga Dalam UUD 1945)

Oleh : Beckham Jufian Podung

Editor : Dian Pratiwi Ahmad

 

 

Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945 telah memberikan penegasan yang jelas mengenai status Negara kita dalam Bab 1 mengenai bentuk dan kedaulatan Negara Republik Indonesia pasal 1 ayat 3 bahwa Indonesia adalah negara yang didasarkan pada Hukum. Artinya ialah segala bentuk aktivitas atau sering saya gunakan istilah seni bernegara senantiasa dilaksanakan berdasarkan atas ketentuan-ketentuan yang diatur didalam hukum.

Berkaitan dengan konsep Negara Hukum, negara ialah suatu fenomena hukum, jadi Negara adalah komunitas yang diciptakan oleh suatu tatanan hukum nasional[1]. Negara sebagai badan hukum ialah suatu personifikasi dari komunitas ini atau personifikasi dari tatanan hukum nasional yang membentuk komunitas ini.[2] Artinya ialah Negara dibentuk oleh suatu hukum atau Hukum senantiasa mendahului negara. Layaknya kita membahas Konstitusi atau Verfassung itu sendiri, Menurut Thomas Paine misalnya mengatakan bahwa Konstitusi dibuat oleh rakyat untuk membentuk pemerintahan dan bukan sebaliknya bahkan lebih lanjut Thomas Paine mengatakan

“A Constitution is a thing antecedent to a government and a government is only the creature of a constitution”

Oleh karena itu, Konstitusi lebih dulu ada daripada pemerintahan.[3] Sejauh ini kurang lebih kita mengenal konsep negara hukum yaitu rechtstaats dan rule of law yang masing-masing dipelopori oleh F.J.Stahl dan A.V.Dicey, ide negara hukum juga berkaitan erat dengan konsep Nomocracy.[4] Perkataan nomokrasi itu dapat dibandingkan dengan demos dan cratos atau cratein dalam demokrasi, nomos berarti norma sedangkan cratos adalah kekuasaan, yang dibayangkan ialah sebagai factor penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan atau yang saya sebut seni bernegara adalah norma atau hukum atau pula dengan kata lain istilah nomokrasi merujuk pada ide The Supremacy of Law atau kedaulatan hukum sebagai kekuasaan tertinggi[5] sehingga  misalnya di Amerika Serikat muncul istilah “The Rule of Law and Not of Man”.

Konsepsi Negara Hukum senantiasa membatasi kekuasaan antar lembaga-lembaga negara dan mendasarkan segala tindakan bernegara atas ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Yang kemudian The International Commission of Jurist mengemukakan tiga ciri penting yang sering dianggap sebagai ciri negara Hukum, yaitu pertama, negara harus tunduk pada hukum, kedua, pemerintah menghormati hak-hak individu, dan ketiga, oeradilan yang bebas dan tidak memihak.[6]

Setelah amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Konstitusi Republik Indonesia mengalami kurang lebih 300 persen perubahan ketentuan-ketentuan dalam UUD Tahun 1945, bayangkan saja sebelum amandemen UUD Tahun 1945, UUD hanya berisi 71 Butir Ketentuan baik ayat atau pasal. Tetapi setelah amandemen ketentuan pasal atau ayat dalam UUD pasca amandemen telah memuat 199 butir ketentuan yang terbagi dari 174 butir ketentuan yang baru (termasuk pula penjelasan dalam UUD Tahun 1945 yang dimasukkan menjadi ketentuan dalam batang tubuh UUD Tahun 1945) dan 25 ketentuan yang lama.[7] Hal ini menunjukkan bahwa setelah UUD Tahun 1945 diamandemen terjadi perubahan besar-besaran dalam dasar hukum seni bernegara Republik Indonesia yang tentunya sudah jauh lebih jelas dan kian hadir memberi kepastian hukum dalam sendi-sendi kehidupan bernegara dan berkonstitusi. Namun, meski sudah mengalami kurang lebih 300 persen perubahan. UUD NRI Tahun 1945[8] masih saja banyak problematika dari ketentuan-ketentuan UUD NRI Tahun 1945.

Dari sekian banyak perubahan dalam Undang- Undang Dasar Tahun 1945 salah satu hal yang menarik (karena perubahannya pasca amandemen cukup signifikan) ialah ketentuan dalam Pasal 24C Ayat 2 UUD NRI Tahun 1945 mengenai kewajiban Mahkamah Konstitusi (dimana dalam  pasal 24 secara keseluruhan mengisi ketentuan mengenai Kekuasaan Kehakiman)[9] wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat atas dugaan pelanggaran oleh Presiden ataupun Wakil Presiden atau lebih dikenal dengan istilah pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sejak amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945, mekanisme pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden kian menjadi ruwet, hal ini tentunya merupakan alasan logis dari amandemen UUD Tahun 1945 ketika pembahasan amandemen UUD Tahun 1945, yakni kesepakatan dasar MPR ketika melakukan perubahan Konstitusi, yaitu memperkuat atau mempertegas sistem Presidensial. Sedangkan ditinjau dari segi peristilahan kata makzul itu sendiri berasal dari Bahasa Arab yaitu dari kata azala yang memiliki dua arti yaitu (1) isolate, set apart, separate, segrate, seclude; dan (2) dismiss, discharge, recall, remove (from office). Istilah pemakzulan pernah diusulkan dalam perubahan UUD Tahun 1945 untuk menggantikan istilah “pemberhentian presiden” saya sepakat dengan penggantian istilah tersebut karna menggunakan istilah pemberhentian presiden bisa saja dimaknai sebagai tempat pemberhentian, meskipun ujung-ujungnya usul tersebut tidak diterima.[10] Selain istilah pemakzulan, di Amerika Serikat misalnya cenderung menggunakan istilah Impeachment President.

Impeachment sendiri selain merupakan istilah asing, juga bermakna sempit yaitu hanya merupakan salah satu dari proses pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden, kalua Presiden dan/atau Wakil Presiden telah “didakwa”untuk dimakzulkan berarti Presiden dan/atau Wakil Presiden telah di-impeached, tetapi belum tentu dimakzulkan, karena memakzulkan itu sendiri dalam Bahasa inggris disebut to remove from his office[11] meskipun begitu praktik pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah hal yang lumrah (pernah terjadi) diberbagai negara didunia. Entah dimakzulkan dengan mekanisme yang diatur didalam ketentuan setingkat Konstitusi ataupun Peraturan Perundang-undangan lainnya, ataupun lewat cara-cara yang tidak diatur dalam Konstitusi bisa berupa Revolution dan coup d’etat. Mekanisme Pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia sendiri telah diatur secara terstruktur dan bahkan diatur didalam Konstitusi itu sendiri yaitu diatur dalam pasal Pasal 3 ayat 3, Pasal 7A, Pasal 7B dan Pasal 8 UUD NRI Tahun 1945.

Sebelum Perubahan UUD Tahun 1945, telah terjadi dua kasus pemakzulan Presiden yaitu era Presiden Soekarno yang dimakzulkan oleh MPRS Tahun 1967 dan Presiden Abdurahman Wahid (Gusdur) dimakzulkan oleh MPR pada Tahun 2001[12] pada saat itu pemberhentian Presiden dalam masa jabatannya sangat dimungkinkan diputuskan lewat putusan politik semata. Apalagi jika Presiden dan partai politik pengusung Presiden tidak memiliki kursi yang mayoritas di parlemen atau bisa saja partai politik diluar pemerintahan (oposisi) memiliki kursi yang dominan di parlemen untuk kemudian memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden lewat keputusan yang bersifat politis semata.

Sehingga ketika terjadi perubahan UUD Tahun 1945, mekanisme pemakzulan Presiden pun mengalami perubahan yang signifikan dan bahkan tata caranya sudah lebih jelas dan teratur. Mengapa demikian? Karena setelah perubahan UUD 1945 mekanisme pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak hanya diputuskan lewat putusan politik semata namun juga harus melewati proses hukum disebuah Lembaga bernama Mahkamah Konstitusi yang terbentuk secara resmi pada tahun 2003 lewat UU Nomor 23 Tahun 2003. Dalam hal terjadi pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden maka The Supremacy of Law harus ditegakkan setegak mungkin sebagai bagian mempertegas status Negara Hukum Pancasila kita, bahwa dalam negara hukum, tujuan suatu perkara adalah agar dijatuhi putusan yang sesuai dengan kebenaran. Tujuan suatu perkara bukanlah untuk mempersalahkan salah satu pihak, melainkan untuk memastikan kebenaran, maka semua pihak berhak atas pembelaan atau bantuan hukum (Equality Before the Law).[13]  yang artinya dalam setiap sendi bernegara atau seni bernegara selalu didasarkan pada ketentuan-ketentuan Hukum yang ada, maka Mahkamah Konstitusi yang telah lahir sejak tahun 2003 itu memiliki kewajiban untuk memberi putusan hukum atas dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden lewat sebuah forum Privilegeatum. Dalam hal ini, forum Privilegeatum menjadi penting sebagai tempat mengadili Presiden dan/atau Wakil Presiden, jika Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan perbuatan melawan hukum (Onrechtmatigeoverheidsdaag)[14] dan mekanisme pemakzulan tidak hanya menjadi bagian politik saja atau pertimbangan politik saja melainkan mampu dibuktikan secara hukum. Sehingga keberadaan Forum Privilegeatum memang seharusnya ada, bahkan terkait pemakzulan, Nandang Alamsyah Deliarnoor melakukan penelitian khususnya mengenai pengadilan terhadap pejabat tinggi negara, termasuk Presiden dan/atau Wakil Presiden. Penelitian itu memang tidak membahas secara khusus masalah mengenai pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden, tetapi menyimpulkan bahwa pentingnya Forum Privilegeatum sebagai penjaga gawang keadilan terhadap tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh orang yang mempunyai kekuasaan atau para pejabat negara, tetapi mempunyai kesulitan jika diadili dengan pengadilan biasa.[15]

Meski telah diatur secara jelas dan lebih terstruktur[16] dalam perubahan UUD Tahun 1945, mekanisme pemakzulan Presiden[17]masih menyisakan problematika yang ada. Jika kita mencermati secara cermat dalam pasal 24C ayat 1 dan ayat 2 yang menjadi kewenangan dan kewajiban Mahkamah Konstitusi (apalagi yang berhubungan dengan pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden) dapat menimbulkan masalah satu saat nanti. Kalau dilihat secara cermat Pasal 24C Ayat 1 berbunyi “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai poltik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum” bandingkan saja dengan bunyi Pasal 24C Ayat 2 berbunyi “Mahkamah Konstitusi memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.” Antara kewenangan dan kewajiban putusan Mahkamah Konstitusi terdapat perbedaan sifat putusan. Terhadap pasal 24C Ayat 1 putusan Mahkamah Konstitusi ialah bersifat final dan mengikat (Final and Binding) tetapi berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 24C Ayat 2 yang dalam rumusan pasalnya tidak menjelaskan apakah putusan Mahkamah Konstitusi itu bersifat final terhadap dugaan pelanggaran Presiden dan/atau Wakil Presiden. Jika tidak demikian, apakah putusan MK nantinya dapat dihiraukan ketika muncul di tahap MPR? Selama ini praktik pemakzulan Presiden Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 belum pernah terjadi, segala kemungkinan dapat saja terjadi dalam praktik pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Penulis pun diawal judul mengatakan bahwa ketentuan ini merupakan ketentuan tebak-tebakan, karena segala kemungkinan empirisnya dapat saja terjadi, Untuk membahas problematika ini tentunya akan dilakukan tinjauan lebih mendalam terhadap kekuatan eksekutorial Mahkamah Konstitusi terhadap upaya pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia yang nantinya apabila penulis uraikan mungkin akan membentuk bukan hanya artikel melainkan sebuah disertasi, kita berdoa saja semoga kedepannya semua sistem pemerintahan kita dicabang kekuasaan manapun dapat berjalan dengan lancer, karena solidnya suatu pemerintahan menentukan bagaimana kebijakan untuk kesejahteraan rakyat terealisasi.

 

 

 



[1] Hans Kelsen, General Theory of Law and State (Teori Umum Tentang Hukum dan Negara), New York, Russel and Russel, 1971. Diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2018, Hlm.261.

[2] Ibid., Hlm. 261.

[3] Lihat “Rights of Man In The Complete Works of Thomas Paine”. P. 302-303 dalam Michael Allenand Brian Thompson, Cases and Materials on Constitutional and Administrative Law, 7th Edition, (London: Oxford University Press, 2003) dikutip kembali dalam Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Depok, 2017. Hlm. 16.

[4] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 125.

[5] Ibid. Hlm. 125.

[6] Loc.cit Hlm. 126.

[7] Dalam Amandemen UUD Tahun 1945, Pembukaan UUD Tahun 1945 yang merupakan naskah asli tetap dipertahankan, sedangkan penjelasan dalam UUD Tahun 1945 dimuat menjadi Ketentuan pasal atau ayat didalam batang tubuh, sehingga UUD Sebelum Amandemen yang terstruktur dari Pembukaan, Isi/Batang Tubuh dan Penjelasan berubah menjadi hanya Pembukaan dan Batang Tubuh saja.

[8] Setelah Amandemen UUD, terjadi penegasan nama yang semula hanya disebut sebagai UUD Tahun 1945 kini dipertegas dengan sebutan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau UUD NRI Tahun 1945.

[9] Pasal 24C Ayat 2 Berbunyi “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar”

[10] Selanjutnya mengenai ini lihat Risalah Sidang BP-MPR dalam Naskah Komprehensif Perubahan UUD

[11] Kata Pengantar, Prof. Dr. Bagir Manan, S.,H. M.,H. M.C.L. dalam Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2011. Hlm. XIII-XIV

[12] Sebelum perubahan, ketentuan pemakzulan Presiden merupakan wewenang mutlak oleh MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara.

[13] Frans Magnis Suseno, Etika Politik, Kompas Gramedia, Jakarta, 2018. Hlm. 381

[14] Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2011. Hlm. 7

[15] Hasil Penelitian Nandang ditulis dalam sebuah disertasi yang berjudul: Forum Privilegeatum dalam Negara Hukum Berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 2006. Dikutip Kembali dalam Hamdan Zoelva, Pemakzulan Presiden di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2011. Hlm. 7

[16] Bandingkan saja dengan pemakzulan Presiden Soekarno dan Presiden Abdurahman Wahid yang pengaturannya tidak teratur secara tersistematis dan jelas.

[17] Penulis menggunakan Istilah Pemakzulan yang artiannya jauh lebih luas dibandingkan dengan impeachment yang sempit seperti yang sudah penulis jelaskan sebelumnya.

Comments