Sebuah Gagasan Yang Terlupakan
(Telaah Mengenai Urgensi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual)
Oleh : Beckham Jufian Podung
Editor
: Arbirelio Walukow
Kami sungguh ingin menjadikan hukum sebagai panglima dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.[1] Kalimat tersebut menegaskan status negara kita sebagai negara yang didasarkan atas Hukum. Paham negara Hukum berdasarkan keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan berdasarkan hukum yang baik dan adil.[2] Maka pada zaman modern saat ini berkembang konsep negara hukum di negara dengan sistem hukum Eropa Kontinental[3] yang dikembangkan oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl,Ficte dan sebagainya..[4] Menurut Julius Stahl, Konsep Negara Hukum yang disebutnya Rechtstaat itu mencakup 4 bagian penting, yaitu : 1. Perlindungan Hak Asasi Manusia, 2. Pembagian Kekuasaan, 3. Pemerintahan Berdasarkan Undang-Undang, 4. Adanya Peradilan Tata Usaha Negara.[5] Intisari dari ulasan mengenai konsep negara hukum (Indonesia) ialah bahwa negara hukum bukanlah hanya negara yang dalam praktik penyelenggarannya selalu didasarkan kepada hukum (atau Undang-Undang) tetapi negara hukum ialah negara yang menjamin perlindungan Terhadap Hak Asasi Manusia (The Supremacy of Humas Rights).
Belakangan ini muncul berbagai gelombang desakan dari beberapa elemen masyarakat yang ada. Desakan ini terjadi sebagai upaya keinginan para aktivis HAM dan organisasi masyarakat dan mahasiswa untuk membentuk suatu regulasi yang jelas dan mumpuni untuk melindungi teristimewa kaum perempuan dan anak dari upaya kekerasan seksual (dalam data yang diperoleh perempuan dan anak adalah pihak yang paling rentan untuk terjadinya kekerasan seksual)[6] Kasus kekerasan seksual semakin marak terjadi di Indonesia. Berdasarkan catatan Komnas Perempuan, sebanyak 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang 2019. Jumlah tersebut naik sebesar 6 persen dari tahun sebelumnya, yakni 406.178 kasus.[7]
Artinya angka kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia selama kurun waktu beberapa tahun kebelakang ini terus meningkat. Kasus kekerasan seksual pun tak hanya berkaitan dengan perempuan dan anak saja, bahkan bisa terjadi disemua kalangan termasuk kalangan pria. Misalnya pada awal tahun 2020 publik Indonesia dihebohkan dengan kasus kekerasan seksual oleh seorang WNI terhadap ratusan laki-laki misalnya, bukan hanya itu saja potret kekerasan seksual yang dapat kita jumpai. Tiap saat didalam negeri kita sendiri, ada banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi. Karena itulah penulis beranggapan bahwa substansi dari kekerasan seksual selalu diidentikan dengan kehadiran Kaum perempuan dan anak. Tidak hanya itu saja, kasus kekerasan seksual selalu menyangkutpautkan masalah konsep moralitas yang ada di masyarakat yang mana seorang perempuan dianggap sebagai simbol kesucian serta kehormatan sehingga kasus ini sering dianggap sebagai aib dan menjadikan perempuan yang menjadi korban lebih memilih bungkam daripada mengungkapkan pelecehan yang dirasakannya. Oleh karena tidak mendapatkan perhatian yang serius maka angka kekerasan seksual kian meningkat yang artinya para pelaku pembuat kekerasan seksual pun tak kunjung jerah. Stigma masyarakat pun kian beragam, bahkan ada juga yang menyalahkan para perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual akibat cara berpakaian yang mengundang nafsu birahi. Namun, hal itu tidak dapat sepenuhnya diterima, karena dalam beberapa kasus justru ada juga yang menjadi korban meskipun menggunakan pakaian yang tertutup.[8]
Media pun kerap lebih menampilkan sisi korban dibandingkan dengan sisi pelaku, sehingga tidak sedikit korbanlah yang dijadikan perbincangan hangat para netizen di Indonesia. Hal ini pun penulis pandang dapat mengakibatkan trauma secara psikis terhadap kaum perempuan dan anak. Hal ini disebabkan oleh ketakutan yang muncul dari kaum perempuan dan anak terhadap bahaya kekerasan seksual yang tentu saja bisa terjadi kapanpun dan dimanapun.
Perempuan sebagai korban sering kehilangan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Banyak sekali kasus kekerasann seksual di Indonesia yang di selesaikan secara kekeluargaan, saat korban dengan susah payah mengumpulkan keberanian untuk mengungkap kebenaran,lagi-lagi kasus ini tidak ditangani dengan baik lalu berhenti pada kesepakatan non litigasi.
Pelaku akan mengatakan bahwa ia menyesal, lalu meminta maaf dan kasus dianggap selesai. Padahal tidak banyak dari pelaku akan mengulangi perbuatan yang sama. Lalu akan menyelesaikan masalah dengan penanganan yang berujung pada kesepakatan yang sama, bahkan banyak kasus yang masih mempertemukan atau mengijinkan pelaku dan korban bertemu. Padahal dengan penyelesaian kasus seperti ini tentunya akan sangat mempengaruhi psikis korban dan tidak menjauhkan dari trauma yang dirasakan korban. Hal ini bukankah sudah sangat membuktikan bahwa peraturan hukum serta penanganan yang dilakukan oleh birokrat terbilang sangatlah lemah.
Selain itu, menurut Sekretaris Jenderal Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPP-RI) Luluk Nur Hamidah, selama ini substansi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak cukup untuk memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual. Oleh karena itu, ia menilai bahwa diperlukan suatu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang aturan hukumnya bersifat khusus (lex specialis).[9]
Selama ini, pengaturan mengenai jerat hukum terhadap pelaku kejahatan seksual ialah terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam ketentuan KUHP Ratna Batara Munti dalam artikel berjudul “Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas” menyatakan antara lain di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) tidak dikenal istilah pelecehan seksual. KUHP, menurutnya, hanya mengenal istilah perbuatan cabul, yakni diatur dalam Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 KUHP. Mengutip buku “KUHP Serta Komentar-komentarnya” karya R. Soesilo, Ratna menyatakan bahwa istilah perbuatan cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahikelamin.[10] Menurut Ratna, dalam pengertian itu berarti, segala perbuatan apabila itu telah dianggap melanggar kesopanan/kesusilaan, dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul. Sementara itu, istilah pelecehan seksual mengacu pada sexual harrasment yang diartikan sebagaiunwelcome attention (Martin Eskenazi and David gallen, 1992) atau secara hukum didefinisikan sebagai "imposition of unwelcome sexual demands or creation of sexually offensive environments".
Oleh
karena itu keberadaan Specialle Delichten
mengenai kekerasan seksual dipandang perlu diadakan suatu aturan khusus
yang menjadi payung hukum untuk mampu menjerat para pelaku kejahatan seksual
sebagai upaya untuk melindungi harkat dan martabat pribadi seseorang yang
tentunya diperlukan dasar hukum yang mampu melindungi semua rakyat Indonesia
dan sebagai upaya untuk menegakkan hukum dan Konstitusi di Indonesia dan
sebagai upaya mempertegas status negara Hukum kita.
[1] kata Presiden SBY, dalam pidato kenegaraannya pada sidang bersama DPR dan DPD RI, di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat, 16 Agustus 2013. Diakses di https://nasional.tempo.co/read/504869/sby-jadikan-hukum-sebagai-panglima
[2] Untuk bagian ini lihat Zippelius 1973a, 167-174 dikutip kembali dari Frans Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Kompas Gramedia, Jakarta, 2018. Hlm. 376
[3] Ialah yang dimaksud yaitu negara hukum yang oleh F.J.Stahl menggunakan istilah jerman Rechtstaat
[4] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2018. Hlm. 125
[5] Ibid. Hlm. 125
[6] Komnas perempuan telah mencatat bahwa pada tahun 2019 terdapat 431.471 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 2.341 di antaranya merupakan kasus kekerasan terhadap anak perempuan, data kekerasan yang tercatat ini mengalami peningkatan secara signifikan sepanjang lima tahun terakhir. Menurut catatan tersebut, 571 kasus merupakan kasus kekerasan seksual. (diakses di https://www.suara.com/yoursay/2020/03/26/131506/kasus-kekerasan-seksual-siapa-yang-lemah-perempuan-atau-peraturan)
[7] Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Indonesia Darurat Kekerasan Seksual, Kenapa RUU PKS Tak Kunjung Disahkan?",
[8] Wakil Ketua Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin menegaskan,
dari data yang ada, pelecehan seksual tidak ada kaitannya dengan pakaian. Diakses di Kompas.com dengan judul
"Pakaian Perempuan Bukan Alasan Lakukan Pelecehan", dapat diakses di (https://lifestyle.kompas.com/read/2020/07/03/130236920/pakaian-perempuan-bukan-alasan-lakukan-pelecehan.)
[9] Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Indonesia Darurat Kekerasan Seksual, Kenapa RUU PKS Tak Kunjung Disahkan?",
[10] Ratna Batara Munti dalam artikel “Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas” diakses pada 23 September 2020
Comments
Post a Comment