Prestasi Jebol IPK Indonesia Tidak Lulus
(Menuju Indonesia Bebas Tikus di Tahun 2045)
Oleh : Beckham Jufian Podung
Editor : Dian Pratiwi Ahmad
Perkembangan Hukum di Indonesia kian kompleks, hal ini ditandai dengan ciri-ciri yang meliputi pertama, pasca Reformasi dalam bidang Hukum Tata Negara, misalnya pasca amandemen Konstitusi UUD 1945, Terjadi perubahan besar-besaran dalam Struktur ketatanegaraan kita, ciri yang kedua yaitu dalam pelaksanaan hubungan internasional, Indonesia patut diapresiasi dengan prestasi gemilangnya dalam menjadi anggota Dewan Keamanan PBB, Hal ini menandai bahwa kancah perpolitikan luar negeri Indonesia tiap hari makin diperhitungkan di Dunia, ketiga dalam hal reformasi Agraria, yang dapat kita katakan telah mengalami perkembangan pesat, khususnya dimasa pemerintahan Presiden Joko Widodo, dimana sektor Agraria mendapat perhatian yang khusus. Sayangnya, potret keberhasilan negara tersebut tercoreng diawal Tahun 2021.
Laporan Transparency International Indonesia (TII) merilis Indeks Persepsi Korupsi “IPK” atau Corruption Perception Index (CPI) Indonesia diawal Tahun 2021 dari semula ditahun 2019 berada pada skor 40 dan ranking 85, ditahun 2020 yang baru lewat IPK Indonesia, jebol dan terpaksa harus tergeser ke posisi 102 dengan skor 37. Posisi Indonesia sama seperti posisi Negara Gambia yang memiliki skor dan ranking yang sama pula. Hal ini tidak bisa dipuji sebagai suatu prestasi karna posisi IPK Indonesia berada di posisi 102 dari 180 negara[1]. Artinya bahkan masuk 100 besar saja kita tidak mampu, Rekor merah tersebut menurut Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Syamsyuddin Haris pada tahun 2019, mengatakan bahwa korupsi di Indonesia terjadi di pusaran partai politik. Menurutnya, sistem partai politik Indonesia saat ini masih memfasilitasi tumbuh suburnya politik koruptif[2]. Hal tersebut berbanding terbalik dengan Prestasi Tahun 1998 saat tuntutan reformasi[3] dan prestasi besar bangsa Indonesia dalam bernegara pasca Amendemen Konstitusi dari tahun 1999 sampai 2002.
Penulis sendiri mengingat sebuah kutipan dalam sebuah buku berjudul Revolusi Mental yang pernah penulis kutip pada karya-karya yang sebelumnya[4] bahwa meskipun kita sudah berusia 23 Tahun sejak Reformasi Tahun 1998 (Tahun 2021) tetapi Reformasi tersebut hanyalah reformasi yang berdampak pada perubahan struktur ketatanegaraan dan kelembagaan saja, tetapi reformasi tahun 1998 bukanlah reformasi yang menyentuh tiap jiwa dan kepribadian setiap warga negara Indonesia, karena itu pasca reformasi pun IPK (indek persepsi korupsi) kita kian tak membaik, kalau seperti ini secara terus-menerus, bukan tidak mungkin Indonesia ´bakal´ tidak ada lagi.
Hal tersebut bukan tidak mungkin, karena mustahil Indonesia secara terus-menerus melaksanakan reformasi seperti tahun 1998, reformasi tersebut terlalu banyak menguras biaya, tenaga, raga, pikiran bahkan tidak sedikit pula harus mengorbankan nyawa-nyawa Rakyat Indonesia sendiri, alhasil pemerintahan yang korup secara terus menerus ujung-ujungnya akan disebut sebagai negara gagal. Misalnya Somalia yang berbelit dalam suatu absence of government yang akut dan menduduki peringkat pertama sebagai negara gagal, bahkan menurut Noam Chomsky bahkan Amerika Serikat yang terkenal dengan negara adidaya sekalipun, sedang menghadapi risiko menjadi negara gagal[5], Meskipun ditahun 2020 Amerika mengalami gonjangan ekonomi hebat sebagai dampak pandemic Covid 19 yang meluluhlantahkan ekonomi AS, Namun AS masih tetap menjadi negara terkemuka ditahun 2020, bahkan tidak ada negara yang mampu menyaingi AS dalam hal kekuatan Teknologi, Ekonomi bahkan Militer. Hal ini menurut Mantan Presiden AS Barack Husein Obama berkat karakter rakyat Amerika yang mengutamakan kerja keras, disiplin dan rasa tanggung jawab[6]. Hal ini tentunya tidak bisa kita maklumi sebagai ´a normal or a verywell condition of our country´ IPK Indonesia yang anjlok hanyalah satu dari puluhan bahkan ratusan permasalahan yang harus dibenahi dan dihadapi bangsa Indonesia. Reformasi 1998 haruslah menjadi satu-satunya reformasi yang terjadi dinegeri ini, dan tidak boleh lagi reformasi susulan dinegeri ini terjadi selain dari reformasi yang bersifat individualism. Kita tentunya tidak ingin mengikuti jejak dan langkah almarhum Yugoslavia yang terlebih dahulu mendahului Indonesia[7] yang hanya bukan lagi dengan status negara gagal layaknya Somalia dan Mali, melainkan sudah berstatus Rest in Peace Yugoslavia.
Oleh karena itu, membangun pemerintahan yang sehat, kuat dan bersih dapat terbangun apabila memang birokrasi kita benar-benar bebas KKN. Praktik sogok menyogok, Kasih uang habis perkara, ada uang ada jabatan, ada uang hukum pun dibeli, semuanya harus dibasmi tuntas dari Republik ini. Bahkan Professor Mahfud MD Mengemukakan dalam sebuah acara televisi yang pada waktu itu berbicara mengenai bagaimana kita menatap kedepan hukum kita (antara optimis dan pesimis) mengatakan tentang industry hukum yang artinya hukum dijadikan layaknya alat transaksi sehingga mampu diperjualbelikan dimana-mana, industry hukum ini bagaikan penyakit merajalela dinegeri ini, orang yang berkuasa pun kerap menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan segelintir orang, kendatipun di Indonesia, bagi setiap pejabat negara harusnya paham betul mengenai konsep dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (Algemene beginselen van behoorlijk bestuur/general principles of good government)[8], penulis sendiri mengingat sebuah perkataan yang dikemukakan oleh Lord John Acton, seorang bangsawan Inggris dalam tulisan A Letter To Bishop Mandel yang kemudian mengemukakan bahwa Power Tends to Corrupt but Absolute Power Corrupt Absolutely (kekuasaan cenderung disalahgunakan tetapi kekuasaan mutlak sudah pasti disalahgunakan). Oleh karena itu desain mengenai pemerintahan yang anti KKN harus dibentuk sejak kini, reformasi tahun 1998 jangan hanya berlaku terhadap lembaga negara dan konstitusi kita saja, melainkan harus menyentuh setiap individu di bangsa ini, kaderisasi partai politik harus kian mantap, politik mahar dan politik uang yang mengakibatkan ongkos politik menjadi mahal yang sangat rentan terjadi dalam setiap momen epic seperti Pemilihan Kepala Daerah harus diberantas habis.
Meski begitu kita patut berbangga dengan lahirnya sebuah lembaga yang konon katanya anti rasuah, yaitu sebuah lembaga yang lahir dari jerih payah tuntutan reformasi yang kemudian diberi nama Komisi Pemberantasan Korupsi. Prestasi ini patut kita syukuri terlepas dari gonjang-ganjing revisi UU KPK yang sontak menghebohkan seantero Republik ini yang menyebabkan aksi demonstrasi disana sini, setidaknya secara kelembagaan, kita punya lembaga khusus yang menangani perkara Korupsi. Dulu ada banyak lembaga antikorupsi yang dibuat di Republik ini. Sebut saja, misalnya Operasi Budi, Komisi Empat dan Operasi Penertiban Pemses Restitusi Pajak. Kemudian Lembaga-lembaga tersebut dibentuk, tapi sengaja dibuat tidak berdaya agar lembaga-lembaga tersebut tidak dapat berfungsi secara optimal, karena demikian maka lembaga-lembaga tersebut pun yang di desain ´lemah´ akhirnya pun harus tutup usia. Karena itu kehadiran KPK harus kita syukuri =setidaknya dari segi ketatanegaraan= negeri ini kelihatannya memang peduli untuk tidak menjadi senasib dengan Somalia ataupun Yugoslavia. Meskipun menjadi catatan penting bahwa keberadaan KPK bukan berarti pula bahwa kita aman dari korupsi, sepanjang system kepartaian kita, system pemerintahan kita, system budgeting kita, bahkan praktik oligarki dan teori industry hukum masih hidup dan eksis. KPK pun tak akan pernah berdaya menghadapi semuanya sendirian. Menjelang 25 tahun lagi menuju ´A Golden Time´ 100 Tahun Indonesia merdeka ditahun 2045 tentunya masih banyak masalah-masalah yang perlu kita perbaiki, bahkan masalah tersebut mungkin tidak akan bisa diselesaikan hanya dengan zaman kita saja, melainkan membutuhkan waktu dan proses sampai ke generasi kita selanjutnya untuk bisa memberantas semua tikus-tikus nakal di Republik ini. Oleh karena, itu saya berdoa, untuk Indonesia kedepan tidak hanya demokratis, tetapi juga eksis. Karena system apapun di Indonesia, tanpa Indonesia, tiada bermakna.
[1] Data Tersebut diakses di https://www.voaindonesia.com/a/sama-skor-indeks-persepsi-korupsi-indonesia-dan-gambia/5756699.html Pada Selasa 6 Februari 2021 Pukul 23.30 WITA
[2] Berita tersebut diakses di https://www.kpk.go.id/id/berita/berita-kpk/1462-indeks-persepsi-korupsi-indonesia-membaik Pada Selasa 6 Februari 2021 Pukul 23.45 WITA
[3] Ada 4 tuntutan reformasi yaitu : 1. Hapuskan Dwi Fungsi ABRI, 2. Pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya, 3. Tegakkan supremasi hukum, 4. Ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN. Tuntutan agar bersih dari KKN muncul karena memang pada era orde baru Praktik KUHP (Kasih Uang Habis Perkara) kian menjamur dan pada saat itu istilah Industry Hukum berkembang sangat pesat.
[4] Selengkapnya Lihat Artikel Penulis Dengan Judul ´Gagasan Seleksi Capres Terbuka : Stigmatisasi Presiden Bukan Antek Partai´
[5] Noam Chomsky
[6] Barack Husein Obama ´setting the stage for a second term´ interview dengan TIME, 31 Desember 2012 --- 7 Januari 2013; Barack Obama, The Audacity of Hope. Thoughts on Reclaiming the American Dream, New York etc; Canongngate, 2006.
[7] Reformasi Konstitusi di Yugoslavia dinilai gagal dan justru hanya melahirkan konflik sipil dan etnis tiada berkesudahan sampai akhirnya Yugoslavia terbagi menjadi beberapa negara seperti Serbia, Montenegro, Slovenia, kroasia, bosnia-herzegovina, makedonia.
[8] Selengkapnya mengenai asas-asas umum pemerintahan yang baik dapat ditemukan dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 atau bahkan dalam Komisi Demonchy dan UNDP.
Comments
Post a Comment