Maju Tak Gentar Membela Yang Bayar (Sebuah Potret Ketidakberdayaan Hukum di Zaman Modern)


 

Maju Tak Gentar Membela Yang Bayar

(Sebuah Potret Ketidakberdayaan Hukum di Zaman Modern)

Oleh : Beckham Jufian Podung

Editor : Arbirelio Walukow

 

            Penulis ingat, saat dahulu disidang sengketa hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2019, Professor Eddy Hiariej (Pakar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada) mengutip salah satu tulisan pakar hukum terkemuka di Indonesia yang terkenal dengan teori Hukum Progresif yaitu Professor Satjipto Rahardjo yang dalam tulisannya dengan judul Determinasi Suatu Hukum (2003) mengatakan bahwa :

                        “Kita Hidup didalam hukum modern, sayangnya kita tidak bisa menjamin bahwa yang menang adalah yang benar.”[1]

Artinya adalah, sehebat apapun sistem pemerintahan kita, sehebat apapun sistem hukum kita, sehebat apapun Undang-undangnya kita, sehebat apapun aparat penegak hukum kita, semuanya itu tidak menjamin bahwa keadilan itu ada dan nyata didalam kehebatan dan kesempurnaan suatu hukum. Dalam karya ini penulis tentunya hanya memberikan gambaran secara umum mengenai potret ketidakberdayaan hukum yang kurang lebih dapat dikaji dalam dua perspektif besar yaitu dalam perspektif teori dan dalam perspektif praktisnya.

Yang pertama mengenai teori hukum, mengingat Hukum ialah suatu seni yang dapat di interpretasikan (Law is the Art of Interpretation). Kalau begitu penulis sendiri berpendapat bahwa tidak ada yang baku dalam hukum. Sebagai sebuah seni ia tak baku, sebab hukum berupaya untuk menginterpretasikan apa yang dimaksud dengan hukum itu sendiri. Misalnya seyakin apapun kita terhadap suatu kasus di pengadilan, ujung-ujungnya keyakinan hakim yang menentukan bersalah tidaknya seseorang dihadapan hukum. Pembuktian (Legal Evidence)[2] dalam segala perkara di pengadilan (khususnya pidana) dalam proses pembuktian hanyalah untuk memperkuat keyakinan hakim mengenai benar atau salahnya seseorang, bahkan dalam Wetboek Van Strafvordering Belanda (KUHAP Belanda) keyakinan hakim digunakan sebagai salah satu alat bukti yang sah yang dikenal dengan istilah Eigen Waarneming van de Rechter. Maka penulis sendiri berpendapat bahwa terdapat segudang bencana yang menimpa hukum baik secara teori maupun secara praktik dalam menghadapi ketidakberdayaan hukum dalam masyarakat.

Hukum sebagai seni sebenarnya telah dahulu dikemukakan oleh L.J.Van Apeldoorn, dia mengemukakan bahwa keseluruhan  pelajaran tentang hukum mencakup Kesenian Hukum dan Ilmu Pengetahuan Hukum, yang didalam kesenian hukum mencakup Perundang-undangan, Peradilan, Ajaran Hukum dan dilihat dari sudut pandang Apeldoorn tentang kesenian hukum, dapat dikatakan bahwa politik hukum yaitu kebijakan negara, melalui badan-badan yang berwenang, tentang arah perkembangan hukum, termasuk pula ke dalam bagian kesenian hukum[3]

Berbicara mengenai ketidakberdayaan hukum dari segi teori dan praktiknya, misalnya terdapat berbagai problema mengenai ketidakberdayaan hukum yang dapat diuraikan dalam pertanyaan seperti misalnya : 1). Siapakah yang lebih determinan antara hukum dan politik? Dalam disertasinya Professor Mahfud MD (mengutip teori dari John Henry Marryman & Philippe Nonet dan Selznick) mengemukakan bahwa politik sebagai independent Variable secara ekstrim dibedakan atas politik yang demokratis dan otoriter, sedangkan hukum yang dependent Variable[4] dibedakan atas hukum yang responsive dan ortodoks. Konfigurasi politik yang demokratis melahirkan hukum yang responsive sedangkan konfigurasi politik yang otoriter melahirkan hukum yang ortodoks atau konservatif.[5] Penulis sendiri memahami hukum ialah produk politik. Sangat mustahil untuk bisa memisahkan hukum dari politik, oleh karena itu misalnya dalam pembuatan hukum (Undang-Undang) dalam proses politik untuk mencegah determinasi politik (industry hukum) yang berlebihan didalam Undang-Undang, maka fungsi deliverative partisipatif (ialah suatu fungsi dimana masyarakat turut serta dilibatkan dalam proses penyusunan UU) masyarakat perlu diperhatikan.[6] Hal tersebut sebatas teori saja karna bisa saja suatu proses pembuatan hukum yang dibuat ´sengaja´ dikebut dan dibuat asal-asalan yang penting proyek jalan, uang pun didapat (ongkos duduk dan berdebat para wakil rakyat).

Pertanyaan yang kedua ialah pertanyaan yang sering dideung-deungkan para ahli hukum yang beraliran sosial (sociological Jurisprudence) yaitu mengenai bagaimana efektivitas hukum dalam masyarakat? Penulis pun sendiri tak pernah menemukan jawaban yang memuaskan penulis mengenai bagaimana seharusnya keefektivitasan hukum dalam masyarakat, hukum kita terdiri dari berbagai ratus ribu bahkan juta pasal dan terdiri dari beribu-ribu Undang-Undang tetapi penulis sendiri mengakui bahwa penulis belum puas dalam hal penegakan hukum di Indonesia ini (meskipun kita punya beribu-ribu aturan), kita punya UU Tentang Korupsi tetapi orang tetap saja melakukan korupsi. Kesimpulan singkatnya penulis mengutip perkataan Prof. Mahfud MD dalam sebuah acara televisi  dengan tajuk menatap Indonesia[7] yang membahas mengenai masa depan hukum di Indonesia (yang dicap buruk) beliau mengatakan bahwa bernegara ya berdemokrasi, dan berdemokrasi berarti berhukum dan berhukum artinya kita harus sabar menghadapi konsekuensi yang ada artinya yang penulis tangkap ialah berhukum merupakan suatu proses panjang yang bersifat Never Ending Goal sepanjang hukum dimaknai dengan moral dan etika yang baik maka hukum tersebut baik, oleh karena itu menghadapi pertanyaan tersebut maka baik buruknya suatu hukum tergantung dari kita, karna hukum ialah The Art Of The Interpretation.

Sebenarnya masih banyak carut marut ketidakberdayaan hukum dalam masyarakat. Entah orde baru ataupun masa reformasi, industry hukum tetap berkembang pesat. Istilah KUHP (Kasih uang habis perkara) bahkan belum pernah hilang dari hukum di Indonesia, kasus mega proyek tetap stagnan pada posisinya, ketidakadilan masih banyak dirasakan oleh masyarakat, struktur ketatanegaraan kita pasca amandemen pun masih banyak menyisakan pekerjaan rumah lainnya, pembaharuan hukum yang sudah using (misalnya RUU KUHP) tak kunjung selesai, determinasi politik yang berlebihan mengombang-ambingkan hukum kesana kemari. dan praktik oligarki makin lama makin mengkhawatirkan. Dan masih banyak permasalahan hukum di Indonesia, tetapi sama seperti yang penulis istilahkan saat penulis menyusun proposal Skripsi Mengenai tebak-tebakan mekanisme impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden di Indonesia yaitu bahwa inilah yang kita sebut dengan Seni Bernegara atau Seni Berhukum terlepas dari baik buruknya suatu hukum, adalah lebih baik ada hukum yang buruk daripada tidak ada hukum sama sekali, karena hukum secara mendasar membatasi kehidupan kita dari kehidupan yang diistilahkan Hobbes sebagai Homo Homini Lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya) dan Bellum Omnium Contra Omnes (Perang semua melawan semua). Maka kita pun menyadari kebenaran definisi hukum dari Apeldoorn bahwa hukum ialah Pergaulan Hidup Yang Teratur.

 



[1] Diakses di youtube mengenai sidang sengketa hasil pilpres di MK Tahun 2019.

[2] Mengenai Legal Evidence atau Bewijs Theorie dapat dipelajari lebih lanjut dalam karya Arthur Best yang ditelaah lebih lanjut dalam Teori & Hukum Pembuktian karya Prof.Eddy Hiariej.

[3] L.J.Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Inleiding tot de studie van het Netherlands recht) dikutip kembali dalam Donald Rumokoy & Frans Maramis, Pengantar Ilmu Hukum. Rajawali Pers. 2013. Depok. Hal. 23

[4] Dependent variable adalah variable yang terpengaruhi sedangkan independent variable adalah variable yang memengaruhi.

[5] Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers. Depok. 2009. Hal.7

[6] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Rajawali Pers. Jakarta. 2009. Hal. 308

[7] Diakses di youtube dalam serial acara Indonesia Lawyers Club dengan Tajuk Menatap Indonesia

Comments