Darurat! Negara Harus Bertindak! (Kajian Sosio Legal Terhadap Pelaku Pemalsuan Surat Rapid Test)

Darurat! Negara Harus Bertindak!

(Kajian Sosio Legal Terhadap Pelaku Pemalsuan Surat Rapid Test)

Penulis : Beckham Jufian Podung

Editor : Arbirelio Walukow

 

Indonesia kini sedang dilanda dengan wabah yang sifatnya global dan masuk kategori pandemic, yaitu Corona Virus Disease 2019 (SarsCov19), sejak maret 2021, Covid-19 telah genap berusia setahun di Indonesia, tentunya ini bukanlah perkara yang mudah untuk bisa bangsa kita lewati, banyak sector-sektor yang terdampak secara serius akibat adanya pembatasan kegiatan social masyarakat sebagai bentuk upaya pemutusan mata rantai penyebaran covid-19 ini. Namun, kebijakan seperti misalnya pembatasan kegiatan social tentunya akan sangat berdampak, sebut saja misalnya disektor Pendidikan, pertama kali dalam sejarah dunia pendidikan, setiap peserta didik dipaksa untuk belajar dari rumah dan bukan sekolah, hal ini tentunya akan berdampak secara psikologis terhadap tumbuh kembang anak, karena pembelajaran dari rumah akan membatasi pergaulan luas yang seharusnya mereka bisa dapatkan di sekolah, tidak hanya itu saja, salah satu sector yang terpukul berat akibat dampak dari covid-19 ini tidak lain selain sector Kesehatan yaitu sector ekonomi. Berdasarkan data dari IDX Channel, terdapat Sembilan sector yang terdampak paling parah akibat covid-19 dalam bidang ekonomi seperti : hotel dan pariwisata, penerbangan, Meeting, Incentives, Conferences, Exhibitions (MICE), Bar dan Resto, Olahraga, Mal dan Ritel, Consumer Electronic, Otomotif [1], maka secara langsung maupun tidak langsung, dampak dari melemahnya ekonomi tidak lain ialah meningkatnya angka kriminilitas akibat dari banyaknya karyawan yang terpaksa dirumahkan serta ketidakpastian ekonomi saat ini.

Polda Banten mencatat kasus kejahatan yang terjadi sepanjang tahun 2020 meningkat dibanding tahun sebelumnya. Kapolda Banten Irjen Pol Fiandar mengatakan, sebanyak 3.323 kejahatan konvensional seperti pencurian kendaraan bermotor, pencurian dengan pemberatan, penipuan, dan lainnya, naik sebesar delapan persen dari 3.369 pada 2019. Menurut Fiandar, kenaikan kasus kejahatan di Banten merupakan dampak pandemi virus corona. Para pelaku terdorong melakukan kejahatan akibat desakan ekonomi. “Dalam keadaan (ekonomi) sulit termasuk karena Covid-19, ada yang mencuri, menjambret dan lain sebagainya,” kata Fiandar saat rilis akhir tahun di Mapolda Banten. Selain itu, pandemi menyebabkan kasus kejahatan seksual terhadap anak dan perempuan meningkat.[2] Selain itu, yang lebih berbahaya lagi, sejak pandemic covid-19 merebak di pelosok tanah air, kerap terjadi kejahatan berupa pemalsuan surat hasil rapid test yang sering digunakan sebagai “tiket” masuk kesuatu wilayah atau daerah tertentu. Bahkan misalnya di Pekanbaru terjadi Pemalsuan surat swab antigen, sebanyak 1252 surat terjual murah yang kemudian dibanderol seharga lima puluh ribu rupiah.[3]

Adanya kejahatan seperti ini sebenarnya merupakan modus operandi yang terkategori baru namun sangat berbahaya. Dalam penyusunan artikel ini, penulis sendiri tertarik mengangkat argumentasi mengenai ini setelah membaca artikel yang dilansir dalam website kementerian hukum dan Ham RI,[4] dalam artikel tersebut, mereka yang diduga melakukan pemalsuan surat dapat dikenakan hukuman berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 263 yang berbunyi:

(1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

Jika surat hasil rapid test palsu tersebut di diberikan oleh dokter, dan surat keterangan hasil test tersebut digunakan atau dipakai oleh seseorang seolah-olah isinya sesuai kebenaran, maka dokter dan yang menggunakan surat rapid tert palsu tersebut dapat dipidana berdasarkan Pasal 267 KUHP:

(1) Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat keterangan palsu itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran.

Namun, penulis berpendapat bahwa, seharusnya hakim bisa saja memutuskan lebih dari tuntutan berdasarkan pasal 263 dan 267 KUHP. Hakim bisa saja memutus “out of the context” dalam perkara yang sama seperti ini, hal ini didukung misalnya dengan metode penafsiran ala Professor Ronald Dworkin. Dworkin sendiri menggagas bahwa kaidah hukum maupun hukum secara keseluruhan tidak memiliki makna instrinsik apapun, bagi Dworkin hukum harus bersifat interpretative dan bukan positivis, hukum seharusnya dan sepatutnya memberi “correct answer” dan bukan hanya terpaku dalam suatu teks[5] artinya hukum haruslah menjadi instrument yang seadil-adilnya, kalau tujuan daripada hukum ialah keadilan, namun apabila keadilan itu tidak tercapai maka hukum itu mati dan kehilangan maknanya, sebab itu hukum yang tidak adil tidaklah patut dipatuhi.

Dworkin sendiri membebankan keadilan tersebut kepada sang Hakim, menurut Dworkin, Hakim haruslah layaknya seorang “Hercules” yang ideal, amat bijak berpengetahuan luas dan sebagainya.[6] Sedangkan terhadap kasus pemalsuan rapid test tersebut telah nyata dan jelas Tindakan tersebut sangatlah merugikan bukan hanya masyarakat disuatu daerah, namun Tindakan tersebut dapatlah merugikan suatu negara. Hal demikianlah yang memaknai perbedaan antara pencurian dan korupsi. Sebenarnya secara makro, korupsi pada hakikatnya dapat pula dimaknai sebagai Tindakan mengambil sesuatu yang bukan milik pribadi menjadi milik pribadi secara melawan hukum. Yang kemudian menjadi factor pembeda antara pencurian dan korupsi ialah Terletak pada perspektif moral. Penulis sendiri ingat, dalam suatu seminar yang diselenggarakan oleh KMMIH (Keluarga Mahasiswa Magister Ilmu Hukum) UGM Yogyakarta, dalam seminar tersebut, salah satu panelis dalam seminar tersebut mengungkapkan bahwa korupsi dianggap berbeda karena berdasarkan perspektif moral, korupsi ialah pengkhianatan terhadap apa yang kita yakini untuk membuat kita bersatu yaitu hidup sejahtera adil dan Makmur dalam satu bingkai NKRI.

Korupsi dapat berdampak pada apa yang Clifford Geertz sampaikan yaitu ikatan primordial. Yaitu ikatan berdasarkan suku, agama, ras, Bahasa dan lain sebagainya yang ujungnya bermuara pada yang Namanya disintegrasi bangsa.[7] Karena itu korupsi dianggap merusak moral jauh lebih dalam daripada pencurian semata, hal inilah yang kemudian mendasari Dworkin dalam teorinya yaitu bahwa hukum sepatutnya dilihat berdasarkan Moral Reading.[8] Karena itu terhadap kasus pemalsuan surat rapid test ini, seharusnya hukum bersandar pada perspektif moral, ketimbang perspektif legalistic-formalistik. Sehingga hukum sekali lagi berhasil mencapai tujuannya yaitu keadilan, hal ini bukan tidak mendasar penulis kemukakan sebab, pemalsuan surat rapid test memiliki dampak yang jauh lebih besar dibandingkan misalnya dengan seorang mahasiswa yang memalsukan ijazahnya.

Pandangan ini mungkin terlihat asbtrak dan kabur, namun, hakim seharusnya mampu berpikir seperti judul buku karya Mahrus Ali yaitu “Melampaui Positivisme Negara Hukum”, Positivisme pada dasarnya menjamin adanya suatu kepastian hukum sebagai instrument terdekat dari hukum ketimbang keadilan. Namun, dalam perjalanan sejarahnya pun, positivism yang pertama kali digunakan oleh saint simon dari perancis yang lahir dalam sebuah perubahan besar yang tidak dapat dikendalikan, yang pada saat itu tengah menghadapi revolusi kaum Borjuis yang menentang kekuasaan feodal, sehingga dominasi penafsiran Raja dan Gereja pada waktu itu mengalami kemerosotan secara signifikan.[9] Namun, seiring dengan perkembangan hukum yang semakin kompleks maka, konsep akan hukum yang legalistic-formalistik seharusnya pula ditinggalkan. Oleh sebab itu terhadap maraknya surat palsu berupa surat hasil rapid test, seharusnya pula dimaknai lebih dari sekedar pemalsuan surat biasa dan sebab itu penulis tentunya mengharapkan akan adanya hukum yang semakin progresif dan responsive, yang tidak kaku, namun tetap berjuang demi mewujudkan keadilan berdasarkan perspektif moral.

Dengan harapan kiranya aparat penegak hukum kita kian tegas dan para hakim kita pun dapat menghukum seberat-beratnya terhadap pelaku pemalsuan surat hasil rapid test, karena Tindakan tersebut tentunya sangat berbahaya apabila tidak ada efek jerah yang mumpuni, sehingga baik pihak medis ataupun masyarakat pada umumnya makin sadar untuk tidak menggunakan surat hasil rapid test sebagai bentuk transaksi bisnis.




 



[3] https://www.kompas.com/tag/pemalsuan-surat-rapid-test diakses pada 30 Juli 2021 Pukul 24.00 WITA

[5] Diah Susanti, Penafsiran Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2019) Hlm. 35-36

[6] Ibid

[7] Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1993) Hlm. 73

[8] Khudzaifah Dimyati DKK, Hukum dan Moral, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2017) Hlm. 56

[9] Ibid. Hlm. 1

Comments