“Problematika Ketetapan MPR/S Dalam Sistem Perundang-Undangan Di Indonesia
Antara Ilusi dan Mitos”
Penulis : Beckham Jufian Podung
Editor : Dian Pratiwi Ahmad
Sejak era reformasi, terjadi “pembongkaran” besar-besaran terhadap system ketatanegaraan di Indonesia. Pembongkaran ini misalnya ditandai dengan aktualisasi amendemen UUD 1945 yang waktu itu sangat dirindukan oleh masyarakat Indonesia. Mengapa tidak? Sejak era orde baru, UUD 1945 mengalami pensakralan bahkan “pendewaan” sehingga jangankan mengamendemen, memikirkan gagasan amendemen saja tampaknya haram bagi penguasa era orde baru. Padahal UUD 1945 kerap menjadi alat penguasa untuk melegitimasi langgengnya kekuasaan tanpa batas yang ujung-ujungnya melahirkan system negara yang authoritarianism. Diera itu memang tampak jelas bahwa berdasarkan teori John H. Marryman dan Philippe Nonet and Selznick, terbukti bahwa konfigurasi politik jauh berada diatas konfigurasi hukum.[1] Tetapi sejarah kian sejarah, kita kini belajar membenah negara kita menjadi lebih baik, alhasil, amendemen tahun 1999-2002 kini melahirkan Indonesia yang kian optimis kedepan. Meskipun kita kian optimis akibat kemenangan besar diera reformasi 1998 telah membawa Indonesia dari era supremasi MPR kini menjadi Supremasi Konstitusi, namun, masih banyak hal yang harus dibina dan dibenahi dalam system ketatanegaraan kita, termasuk didalamnya yaitu problematika kedudukan TAP MPR/S dalam system ketatanegaraan kita khususnya dalam system peraturan perundang-undangan kita.
Pengaturan terhadap system perundang-undangannya kita, dimulai dengan diterbitkannya TAP MPRS Nomor XX/MPRS/1966 Tentang Memorandum DPR-Gotong Royong mengenai sumber tertib hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, Keberadaan TAP MPRS 1966 ini sekaligus menjadi sumber pengaturan pertama system perundang-undangan di Indonesia sejak era kemerdekaan Tahun 1945, hal ini dapat dikatakan terlampau jauh sejak Indonesia merdeka ditahun 1945, yaitu terpaut 21 Tahun sejak munculnya TAP MPRS Tahun 1966, selama 21 Tahun tersebut banyak masalah selain pula masalah politik dan keamanan, dapat pula berdampak pada masalah hukum apabila selama 21 tahun tersebut tidak ada instrument hukum yang jelas yang mengatur mengenai tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Padahal sebenarnya, system peraturan perundang-undangan telah ada sejak era hindia belanda, yakni Wet (setingkat Undang-Undang), AMvB (Setingkat Peraturan Pemerintah), Ordonantie (setingkat Perda, namun setelah Indonesia merdeka menjadi setingkat PP karena dulu Indonesia hanya daerah jajahan) dan RV (setingkat Keputusan Kepala Daerah namun setelah Indonesi merdeka menjadi setingkat PP). Setelah merdeka seharusnya peraturan perundang-undangan zaman hindia belanda diberlakukan dengan aturan peralihan UUD 1945, Namun pasca merdeka peraturan perundang-undangan tersebut tidak kunjung digunakan dalam praktik sehingga menimbulkan kekacauan selama 21 tahun dalam system hukum kita.[2] Akhirnya dengan terbitnya TAP MPRS XX/MPRS/1966 tersebut, Ketetapan MPR dimasukkan sebagai bagian dalam peraturan Perundang-undangan di Indonesia sekaligus menjadi aturan pertama yang mengatur hirarki peraturan perundang-undangan. Namun, pasca reformasi tahun 1998, yang ikut pula merombak kedudukan dan kewenangan MPR secara besar-besaran, kedudukan TAP MPR pun ikut dirombak dalam system peraturan perundang-undangannya kita. Hal ini merupakan konsekuensi logis, apabila TAP MPR pun ikut terombak, sebab kewenangan MPR pun telah dirombak, alhasil meskipun dalam TAP MPR Nomor III/MPR/2000 tetap memasukkan TAP MPR dalam system ketatanegaraan kita, namun dengan digantinya TAP MPR Nomor III/MPR/2000 dengan UU Nomor 10 Tahun 2004 maka kedudukan TAP MPR pun ikut dihilangkan. Penghapusan TAP MPR dalam system peraturan perundng-undangannya kita merupakan konsekuensi logis sebab sejak era reformasi khususnya sejak amendemen 1999-2002 MPR sudah tidak berwenang lagi menerbitkan TAP MPR yang bersifat regeling yang berlaku keluar. Memang sampai saat ini MPR masih bisa menerbitkan TAP MPR namun berbeda dengan TAP MPR sebelum amendemen, TAP MPR kini hanya bersifat beschikking bukan regeling yang berlaku keluar. Dengan demikian Produk Keputusan MPR dapat berupa :
A. Ketetapan MPR Tentang Pemberhentian Presiden/Wakil Presiden
B. Ketetapan MPR Tentang Presiden/Wakil Presiden Terpilih
C. Peraturan Tata Terbit MPR
Namun, dengan diterbitkannya UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Hirarki Peraturan Perundang-Undangan sebagai pengganti UU Nomor 10 Tahun 2004, TAP MPR Kembali dimasukkan dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Hal ini kemudian menimbulkan berbagai persoalan/implikasi hukum yang logis yang selebihnya akan dibahas berikut.
Pertama, masuknya TAP MPR dalam system peraturan perundang-undangan menimbulkan problematika dari segi pembedaan antara regeling (peraturan) dan beschikking (Penetapan). Mengapa demikian? TAP MPR masih menggunakan istilah Ketetapan yang notabene merupakan beschikking padahal substansi pengaturan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 ialah tentang regelling, berbeda dengan halnya apabila penggunaan TAP (Ketetapan) diubah menjadi Peraturan MPR, namun disatu sisi MPR sudah tidak berwenang menerbitkan TAP MPR yang berlaku keluar, sedangkan TAP MPR yang dimaksud oleh UU Nomor 12 Tahun 2011 adalah TAP MPR sebagaimana dimaksud oleh TAP MPR Nomor I/MPR/2003 Yaitu materi TAP MPR yang ditinjau dari Tahun 1960 sampai Tahun 2002 bukan TAP MPR setelah Tahun 2002 yang hanya bersifat beschikking bukan regelling.
Kedua, jika dicermati secara hirarki peraturan perundang-undangan menurut teori Hans Nawiasky, terdapat dilematis penempatan TAP MPR dalam teori tersebut, misalnya dalam teori Hans Nawiasky terdapat staatsfundamentalnorms, staatsgrundgesetz, formeel gesetz, dan verordnung/autoneme satzung dimana apabila dimasukkan dalam system peraturan perundang-undangan kita staatsfundamentalnorms (Pancasila), Staatsgrundgesetz (UUD), Formeel gezets (UU/Perpu), dan Verordnung/autoneme satzung (PP, Perpres, Perda, dsb). Menurut penulis tidak tepat TAP MPR dimasukkan sejajar dengan staatsgrundgesetz (meskipun beberapa ahli berpendapat tidak demikian), sebab TAP MPR merupakan penjabaran yang jauh lebih abstrak dibandingkan dengan UU dan berlaku lebih umum dibandingkan dengan UU hal ini ditandai dengan jelas misalnya dalam TAP MPRS Tahun 1966, Tap MPR 2000, UU Nomor 12 Tahun 2011 dengan jelas menempatkan TAP MPR diatas Undang-Undang dan dibawah UUD, Artinya TAP MPR berbeda dengan UU dan berbeda pula dengan UUD, dengan demikian tidak tepat pula menempatkan TAP MPR sejajar dengan Staatsgrundgesetz (UUD).
Ketiga, dengan diadopsinya Kembali TAP MPR dalam hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia lewat UU Nomor 12 Tahun 2011, maka Norm Control Mechanism tentunya diperlukan untuk mengontrol setiap norma hukum yang ada, entah lewat Judicial review ataupun lewat legislative or political review ataupun executive review. Meskipun demikian mekanisme control norma TAP MPR lewat 3 jalur tersebut tidak memiliki landasan yuridis sama sekali. Sehingga, tidak jelas Lembaga mana yang berhak menguji TAP MPR, Menurut penulis, kemungkinan dengan jalur legislative or political review tampaknya lebih logis untuk dilakukan, meskipun dalam penelusuran literatur, penulis melihat banyak ahli yang menaruh harapan akan pengujian TAP MPR lewat jalur judicial review yaitu Mahkamah Konstitusi. Memang masing-masing pendapat memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Misalnya dengan jalur judicial review, menurut penulis tentunya tidak tepat karena, selain memang tidak tercantum secara eksplisit dalam kewenangan MK sesuai Pasal 24C dimana MK berwenang menguji UU Terhadap UUD, kedudukan TAP MPR termasuk subtansinya sebagaimana telah dijelaskan dalam poin kedua, tidak sama dengan UU, jadi meskipun dalam ketentuan pasal 24C kata “undang-undang” didalamnya menggunakan huruf kecil, tetapi TAP MPR tidak bisa dipersamakan dengan Pendapatnya Van der Vlies mengenai Wet in Materieele Zijn dan Wet in Formeele Zijn. Namun, disatu sisi, MK bisa saja mengambil kewenangan tersebut berdasarkan doktrin bahwa MK adalah The Guardian of the Constitution dan The Interpreter of the Constitution. Sedangkan pengujian lewat political or legislative review pun pula memiliki kelebihan dan kekurangannya tersendiri. Misalnya konsekuensi logisnya adalah tetap membiarkan UU Nomor 12 Tahun 2011 mengadopsi TAP MPR, Namun DPR sesuai ketentuan TAP MPR Nomor I/MPR/2003 Tentang Peninjauan Kembali Materi dan Status Hukum TAP MPR Sejak Tahun 1960-2002 memberi ruang untuk TAP MPR yang masih berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang, diubah dan digantikan dari materi muatan TAP MPR menjadi Undang-Undang, dengan demikian maka materi TAP MPR tersebut dengan jelas mendapatkan posisi konstitusionalnya untuk bisa dilakukan pengujian dalam bentuk UU. Namun, disatu sisi upaya ini memiliki kelemahannya tersendiri yaitu sangat tergantung pada kehendak politik (political will) para anggota dewan yang duduk disenayan. Selain itu, menurut Mauro Capelleti pengujian secara politik (political review) lebih bersifat preventif yaitu dilakukan sebelum suatu norma diundangkan/diterbitkan, sedangkan terhadap materi TAP MPR sudah ada terlebih dahulu, meskipun tanpa disadari TAP MPR Nomor I/MPR/2003 merupakan bentuk Political Review TAP MPR dari Tahun 1960 Sampai Tahun 2002.
Kesimpulannya yaitu, dalam memahami penyelesaian terhadap problematika TAP MPR ini tentunya bukan perkara yang mudah, selain adanya kajian yang jauh lebih mendalam, diperlukan juga sumbangan pemikiran dari para ahli hukum untuk kemudian bisa dirumuskan suatu penyelesaian masalah terhadap problematika ini. Jangan heran apabila problematika ini hanya akan menjadi antara ilusi dan mitos, sebab masalah tanpa penyelesaian adalah ilusi dan mitos yang sampai kapan pun akan sulit untuk dipecahkan. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan buah pikir dari teman-teman sejawat para ahli hukum untuk Bersama berpikir mengenai ini.
[1] Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Depok: PT Grafindo Persada, 2012), Hlm. 26
[2] Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu, (Jakarta; Rajawali Pers, 2009), Hlm. 65-66
Comments
Post a Comment