Menggagas Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia
(Sebuah Gagasan Kuno Yang Kini Telah di Lupakan)
Oleh : Beckham Jufian Podung
Editor : Dian Pratiwi Ahmad
Corona Virus disease yang melanda seantero belahan dunia bahkan sudah dikategorikan sebagai pandemic[1] telah genap berusia setahun pada desember tahun lalu, dan telah genap berusia setahun pada bulan maret khusus di Indonesia. Sehingga tak sedikit negara diseluruh dunia mengambil kebijakan Lock down dan bahkan tak sedikit negara yang melewati batasan rambu-rambu hukum yang selama ini mengatur dalam keadaan normal, dengan alasan bahwa Corona Virus Disease ini merupakan darurat negara dibidang kesehatan yang dapat berdampak ke seluruh sektor kehidupan, bahkan, scenario terburuknya, negara dapat menjadi negara gagal apabila masalah ini tidak terselesaikan dengan segera, akhirnya tiap negara dipaksa mengambil tindakan-tindakan darurat, termasuk dengan melewati batasan rambu-rambu hukum dengan alibi keadaan darurat, karena ditakuti bahwa Corona Virus Disease ini akan berdampak layaknya The Great Depression Cases[2] yang terjadi ditahun 1929 sampai dengan tahun 1930an. Oleh karena itu pada bulan maret tahun 2020, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Desease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan[3] Mahkamah Konstitusi dalam putusannya telah memberikan batasan mengenai kegentingan yang memaksa yaitu sepanjang memenuhi 3 unsur yaitu[4] :
a. karena adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
b. Undang-Undang yang dibutuhkan belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum atau tidak memadainya Undang-Undang yang saat ini ada; dan
c. kondisi kekosongan hukum yang tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa yang memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
akan tetapi kelihatannya keadaan darurat bahaya dalam perpu Covid tersebut[5] hanya dimaknai sebagai keadaan darurat negara dalam keadaan normal, hal ini dibuktikan dengan memperhatikan konsideran “mengingat” yang hanya mencantumkan pasal 22 ayat 1 UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-Undang”. Padahal sebenarnya harus kita pahami terlebih dahulu bahwa kegentingan yang memaksa maupun keadaan darurat harus dimaknai dalam dua pengertian, yaitu pertama, keadaan darurat dalam keadaan normal, misalnya pemerintah sengaja menerbitkan Perpu karena misalnya pembahasan di DPR memakan waktu yang cukup lama, sedangkan terdapat Legal Need atau kebutuhan hukum disana, akhirnya Presiden pun menerbitkan perpu untuk menangani masalah kebutuhan hukum ataupun kekosongan hukum yang terjadi, kedua yaitu keadaan darurat dalam keadaan yang tidak normal, misalnya saja yang paling Konkrit yaitu Tsunami Aceh dan Covid-19 ini, yang harus dimaknai berbeda dengan konsepsi pertama tersebut. Karena bisa saja terhadap konsep yang kedua ini, Pemerintah memang betul-betul melanggar hukum bahkan kalau diperlukan melanggar Konstitusi untuk menangani masalah tersebut dengan alibi “Salus Populi Suprema Lex” artinya keselamatan rakyat ialah hukum yang tertinggi.
Dari segi peristilahan, Hukum Tata Negara Darurat dikenal dengan berbagai istilah seperti state of emergency di Irlandia, Afrika selatan, India, Pakistan, dll. State of civil emergency di belanda, state of siege (etat d’siege) di perancis, belgia, argentina, brasil, chile, dll. Estado de alerta di spanyol, bahkan dalam konstitusi spanyol keadaan darurat atau estado de alerta atau estado de emegencia mencakup tiga macam yaitu alerta (Waspada), exception (exceptional circumstance) dan sitio (siege). ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights) menggunakan istilah “public emergency” misalnya dalam artikel 4 paragraf 1 berbunyi :
“in time of public emergency which threatens the life of the nation and the existence of which is officially proclaimed, the States Parties to present covenant may take measures derogating from their obligations…. Etc”
Di Indonesia sendiri Hukum Tata Negara Darurat atau bahkan lebih luasnya lagi hukum darurat selain diatur dalam Konstitusi pasal 12 dan 22 UUD NRI Tahun 1945, terdapat juga pengaturan dalam UU Prp No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya yang mengatur mengenai tiga tingkatan keadaan darurat[6] yaitu:
1. Keadaan Darurat Perang
2. Keadaan Darurat Militer; dan
3. Keadaan Darurat sipil
Tetapi perlu diingat ketentuan mengenai keadaan bahaya sebenarnya telah diatur terlebih dahulu dalam UU No. 6 Tahun 1946 yang kemudian diikuti oleh UU No. 16 tahun 1946, Dimasa Reoublik Indonesia Serikat (RIS) , Presiden menetapkan UU Darurat No. 8 Tahun 1950.[7]
Di Indonesia sendiri, dalam lembaran sejarah memang belum banyak keadaan darurat yang terjadi, selain dari darurat dalam keadaan normal, dahulu di era orde lama memang banyak terjadi keadaan darurat, namun hal tersebut memanglah wajar apabila kita melihat sekilas zaman orde lama, karena memang kondisi politik, ekonomi, sosial, dan budaya memang saat itu belum stabil. Misalnya latar belakang dibalik keberadaan dekrit Presiden 5 juli 1959. Menurut Hatta dan Prawoto Mangkusasmito tindakan soekarno dan dekritnya ialah kudeta terhadap lembaga negara yang sah[8] latar belakang adanya dekrit tersebut ialah karena menurut alasan subjektif Indonesia berada dalam keadaan darurat[9] namun perlu diketahui pula bahwa penetapan keadaan bahaya yang kemudian berpotensi melanggar segala ketentuan dan Konstitusi yang ada tidak bisa ditetapkan dengan sembarangan. Hal ini telah dikemukakan oleh Ismail Sunny yang mengatakan bahwa dari sudut pandang hukum, suatu revolusi yang berhasil dilakukan dapat menjadi kenyataan hukum[10]sedangkan menurut Hans Kelsen mengemukakan bahwa :
“if the government is able to maintain the new constitution in an efficacious manner, then this government and this constitution are, according to international law, the legitimate government and the valid constitution of the state”[11]
Artinya suatu “kudeta” terhadap sebuah konstitusi dapat terjadi dan bahkan dapat dipertahankan apabila didukung oleh kekuatan kekuasaan (yaitu dengan militer). Jelasnya bahwa memang penetapan darurat negara harus pula memperhatikan kondisi kekuatan kekuasaan yang kuat, sebab apabila tidak didukung oleh kekuasaan yang kuat, tindakan tersebut justru berpotensi mengakibatkan masalah lainnya. Misalnya diera Presiden Abdurahman Wahid saat menetapkan dekrit (Maklumat) pembubaran DPR pada Tahun 2001. Hal ini pun dipertegas dalam TAP MPRS No. XX/MPRS/1966 bahwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus, Dekrit Presiden 5 juli, dan supersemar 1966 sebagai sumber tertib hukum yang bersumber pada Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum padahal ketiga sumber hukum itu dibentuk secara inkonstitusional dengan alasan “darurat subjektif” tetapi dapat dipertahankan dengan kekuataan kekuasaan yang efektif[12]
Oleh karena itu, sebenarnya gagasan mengenai Hukum Tata Negara darurat ialah sangat penting, mengingat hukum harus sedemikian dikonstruksikan untuk mengatur bukan hanya hal-hal yang umum melainkan pula harus mengatur bahkan sampai kedalam keadaan yang spesifik termasuk dalam keadaan kedaruratan negara. Karena memang dalam praktik bernegara, disamping kondisi negara dalam keadaan biasa (ordinary condition), kadang-kadang timbul atau terjadi keadaan yang tidak normal. Dalam keadaan tidak normal tersebut tentunya memerlukan pengaturan tersendiri sehingga fungsi-fungsi negara dapat terus bekerja secara efektif meski dalam keadaan yang tidak normal atau darurat.[13] Meskipun begitu harus diberi catatan pula meski dalam keadaan darurat, hukum memang tidak dibuat untuk mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum seperti yang dikemukakan oleh Gustave Radbruch[14] tetapi kemudian hukum yang berpotensi melanggar peraturan perundang-undangan bahkan melanggar konstitusi tersebut kemudian tidak boleh diberi celah untuk digunakan sewenang-wenang (willekeurg) atau pun berpotensi menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power). Setiap peraturan (regeling) atau keputusan (beschikking) haruslah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang baik yang bertujuan memang semata-mata untuk mengatasi kedaruratan sebagaimana dimaksud sehingga hukum tata negara darurat itu dikeluarkan.
[1] A pandemic is an epidemic of an infectious disease that has spread across a large region, for instance multiple continents or worldwide, affecting a substantial number of people. A widespread endemic disease with a stable number of infected people is not a pandemic.
[2] The Great Depression was a severe worldwide economic depression that took place mostly during the 1930s, beginning in the United States. The timing of the Great Depression varied across the world; in most countries, it started in 1929 and lasted until the late 1930s.
[3] LNRI Tahun 2020 Nomor 87, TLNRI Nomor 6485.
[4] Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII|2OO9
[5] Penulis Menggunakan Istilah Perpu Covid karena memang Perpu Tersebut dimaksudkan untuk menangani keadaan Pasca Covid.
[6] Diakses di Kuliah Umum HTN PSHK UII Prof. Dr. Ni’Matul Huda, SH, MH.
[7] UU Darurat diera RIS dan UUDS 1950 kini dapat dimaknai sebagai Perpu.
[8] Karena salah satu isi dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu adalah membubarkan Konstituante.
[9] Dalam hukum tata negara darurat dapat dibagi dalam dua hal yaitu HTN Darurat Subjektif dan HTN Darurat Objektif yang selebihnya bisa dipelajari di Buku Prof. Jimly Asshiddiqie dengan judul Hukum Tata Negara Darurat.
[10] Ismail suny, pergeseran kekuasaan eksekutif, (Jakarta; aksara baru. 1983) Hlm. 1
[11] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (Cambridge; Harvard University Press, 1945) Hlm. 368
[12] Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, (Jakarta; Rajawali Pers, 2009) Hlm. 132
[13] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, (Jakarta; Rajawali Pers, 2007) Hlm. 1-2
[14] Meskipun ketiga tujuan hukum tersebut sebenarnya terlebih dahulu dikemukakan oleh Herman Kantorwicz
Comments
Post a Comment