KPK Are You Okay? (Memperingati Pemberantasan Korupsi, Dahulu Bangkit Kini Mati Lagi)

                                                                KPK Are You Okay?

(Memperingati Pemberantasan Korupsi, Dahulu Bangkit Kini Mati Lagi)

Oleh : Beckham Jufian Podung

Editor : Dian Pratiwi Ahmad

 

            Sebelum membahas lebih lanjut, penulis terlebih dahulu ingin mengucapkan selamat kepada KPK RI terlebih dahulu. Mengapa demikian? Pertama, beberapa waktu yang lalu penulis sendiri kaget saat mendengar pemberitaan dimedia elektronik, dimana Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ) bakal mencabut status daftar pencarian orang ( DPO ) kedua tersangka kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yakni Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Sjamsul Nursalim. Pencabutan status DPO tersebut terjadi setelah KPK mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas kasus yang menjerat Sjamsul Nursalim dan istrinya.[1] Dimana kasus BLBI tersebut telah merugikan negara sebesar 4,5 Triliun Rupiah. Hal ini tentunya bukan kerugian yang kecil. Kedua, tentunya sudah tidak asing apabila kita mengikuti pemberitaan media massa dengan jelas dimana dimana seorang menteri social berhasil diringkus KPK RI terkait dengan adanya Korupsi berkenaan dengan Bantuan Covid-19, hal ini sontak mendatangkan berbagai respon yang beragam dikalangan masyarakat sendiri, bahkan tak sedikit yang meminta agar tersangka kasus korupsi Bansos Covid-19 tersebut harus dihukum mati. Mengapa? Karena korupsi tersebut justru dilakukan diera pandemic, maka respon tersebut pantaslah kita anggap wajar.

Kembali ke topik pembahasan diatas, Penulis sendiri mengucapkan kalimat selamat kepada KPK RI bukan tanpa alasan yang tidak jelas. Setidak-tidaknya terdapat beberapa alasan dibalik kalimat selamat tersebut. Pertama, dalam sejarah sejak lembaga anti rasuah ini terbentuk sejak era Presiden Megawati Soekarnoputri, KPK sejak awal memang di desain untuk tidak diberikan kewenangan SP3, alasannya jelas dan dapat diterima, karena alasan KPK tidak diberikan kewenangan SP3 adalah agar KPK memang terlebih dahulu yakin akan kasus yang akan ditanganinya terlebih dahulu, setidak-tidaknya dengan bukti yang cukup untuk sekali menjerat, para koruptor tidak akan pernah bisa lari atau bebas dari hukuman. Dengan adanya kewenangan SP3 maka sebenarnya KPK telah dipersilahkan untuk memunculkan sikap keragu-raguan dalam menangani suatu perkara. Namun, setidaknya dengan SP3 pertamanya terhadap kasus BLBI penulis sendiri dengan itu mengucapkan selamat karena telah berhasil mengeluarkan SP3 terhadap kasus yang merugikan negara 4,5 Triliun. Kedua, meskipun mendapat desakan dari para pihak untuk segera menghukum mati koruptor tersebut, secara yuridis pun, hal ini sangat didukung. Namun, tampaknya hal ini enggan diambil, entah karena hukumnya yang lemah atau moralnya yang lemah, biar rumput yang bergoyang yang akan menjawabnya.

Memang sejak awal, penulis pesimis Ketika penulis melihat gagasan revisi UU KPK, konon, revisi UU KPK adalah upaya memperkuat KPK, namun apakah demikian? Sejak awal memang penulis ragu mengenai upaya penguatan KPK yang kurang lebih dapat penulis jelaskan dalam berbagai factor sebagai berikut

Pertama, factor sejarah, pembunuhan KPK merupakan pembunuhan berulang, mengapa? KPK bukanlah satu-satunya dan bukanlah Lembaga pertama yang ada ditanah air ini yang merupakan Lembaga yang khusus diadakan terkait upaya pemberantasan korupsi, diera orde lama Badan Koordinasi Penilik Harta Benda yang memiliki fungsi yang sama dengan KPK saat ini khususnya dalam hal LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara), Bapekan (Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara), Paran (Panitia Retooling Aparatur Negara) Operasi Budi, Kotrar (Komando Retooling Aparatur Revolusi), sedangkan diera orde baru terdapat TPK (Tim Pemberantasan Korupsi), Komisi 4, Operasi Penertiban, TPK Jilid II, Bahkan diera Reformasi terdapat Lembaga TGTPK (Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), TimTasTipikor (Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) kini semua Lembaga tersebut tinggal kenangan, mulai dari Badan Koordinasi Penilik Harta Benda sampai TimTasTipikor (dan kini mungkin KPK) semuanya tinggal kenangan. Penulis rasa kita semua tau bagaimana para Lembaga ini berakhir naas seperti ini, sekali lagi konfigurasi politik menaklukan konfigurasi hukum. Sulit untuk memberantas korupsi tanpa political will yang kuat untuk memberantas korupsi, menurut Gillespie & Okruhlik ada 4 strategi pemberantasan korupsi yang dapat dilakukan yaitu 1. Strategi terkait masyarakat, 2. Strategi terkait hukum, 3. Strategi terkait pasar, 4. Strategi terkait politik. Dalam kesimpulan penulis dari apa yang disampaikan oleh Gillespie & Okruhlik terdapat 4 elemen penting disitu yaitu Masyarakat, Hukum, Pasar dan Politik, semuanya saling memengaruhi satu sama lain, intinya sehebat apapun kelembagaan anti korupsi di desain tanpa masyarakat, hukum, pasar dan politik yang menunjang, ide menciptakan negara yang bersih dan bebas KKN adalah Mitos belaka.

Kedua, factor hukum, dalam factor hukum yang dimaksud ialah factor kewenangan yang diperoleh secara atribusi oleh KPK, mengapa? Selain daripada SP3 yang sudah disentil oleh penulis sebelumnya, gagasan mengenai Dewan Pengawas, Status Kepegawaian, Penyadapan dan sebagainya ikut pula menambah keraguan penulis terhadap revisi UU KPK. Misalnya mengenai Dewan Pengawas, menarik pertanyaan yang dilontarkan oleh Mauro Capelleti mengenai dewan pengawas yaitu Who will watch the watcher? Singkat pertanyaannya yaitu yang mengawasi dewan pengawas siapa? Adanya konsep pengawasan ialah agar KPK bisa berjalan menurut rambu yang sudah ditentukan, konsep pengawasan adalah konsep “was-was” terhadap KPK yang mungkin saja bisa melakukan kesalahan. Kalau konsep pengawasan diadakan dengan alibi seperti itu maka kita Kembali saja ke pertanyaannya Mauro Capelleti yaitu siapa yang akan mengawasi pengawas? Kalua KPK bisa saja khilaf dalam kewenangannya maka, dewan pengawas tentunya juga bisa khilaf dalam kewenangannya, Sedangkan pola pengawasan Komisi Negara Independen saat ini adalah pola pengawasan yang bertipe langsung kepada rakyat dengan melakukan laporan berkala kepada DPR.[2] Berikut mengenai status kepegawaian, dalam penelitian yang dilakukan KPK RI dengan metode comparative yang kemudian dikutip oleh Denny Indrayana jelas dalam perbandingan dengan beberapa negara yaitu 19 negara yang dikaji hanya 1 negara yang pegawainya tidak tetap yaitu Sri Lanka, sedangkan yang menganut campuran ada Brazil, Nigeria dan Indonesia, sedangkan yang sisanya adalah pegawai tetap, mengapa hal ini perlu diperhatikan? Karena pegawai KPK yang bersistem hybrid sangat rentan terjadi intervensi apabila KPK sedang menangani perkara diinstansi tersebut, misalnya saja KPK pernah mengalami penarikan pegawai khususnya penyidik dan bahkan pernah bersitegang dengan instansi tersebut. Kemudian terkait penyadapan, penulis sendiri mengapresiasi komitmen putusan MK RI terhadap substansi mengenai penyadapan tersebut, sejak KPK terbentuk, kewenangan penyadapan KPK terus disorot misalnya Putusan MK RI Nomor 006/PUU-1/2003 Tertanggal 30 Maret 2004 salah satu substansi yang dipermasalahkan ialah dalam ketentuan pasal 12 ayat 1 huruf a dan huruf i perihal Permohonan Pengujian Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur mengenai KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan, maka MK berpendapat dalam amar putusannya yakni Hak-hak yang terdapat dalam Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak termasuk hak-hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28I Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dengan demikian hak-hak tersebut dapat dibatasi oleh undang-undang sebagaimana diatur dalam ketentuan yang tersebut dalam Pasal 28J ayat (2). Pembatasan itu diperlukan sebagai tindakan luar biasa untuk mengatasi korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa. Lagipula pembatasan itu tidak berlaku bagi semua orang tapi terbatas kepada mereka yang diduga terlibat korupsi yang menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 11 huruf C jo Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002. Namun demikian untuk mencegah kemungkinan penyalahgunaan kewenangan untuk penyadapan dan perekaman Mahkamah Konstitusi berpendapat perlu ditetapkan perangkat peraturan yang mengatur syarat dan tata cara penyadapan dan perekaman dimaksud”[3] artinya sejak awal MK telah memutuskan bahwa penyadapan yang dilakukan KPK bukanlah Pelanggaran HAM, Melainkan upaya yang luar biasa untuk menangani kejahatan yang luar biasa pula.

Ketiga, komitmen pemberantasan korupsi, mengapa komitmen ini sangat penting? Korupsi adalah salah satu persoalan paling mendasar yang dihadapi banyak negara didunia. Menurut John S.T. Quah ada 3 pendekatan yang dilakukan negara-negara Asia dalam memberantas korupsi, yaitu 1. Membentuk UU anti korupsi tanpa membentuk Lembaga khusus, 2. Melibatkan beberapa Lembaga antikorupsi untuk melaksanakan UU, 3. Membentuk badan khusus antikorupsi (termasuk Indonesia). Indonesia termasuk negara yang memilih untuk membentuk sebuah badan khusus yang independent untuk memberantas korupsi. Menurut Susan D. Baer menipisnya kepercayaan public terhadap Lembaga negara konvensional inilah yang memicu hadirnya komisi negara independent di Amerika Serikat[4], gambaran begitulah yang mewarnai Komisi Negara Independen bernama KPK RI di Indonesia, ketidakmampuan Lembaga negara konvensional memberantas korupsi era orde baru, yang kemudian melahirkan KPK diera reformasi.

Akhirnya, ujung tombak pemberantasan korupsi ada didalam diri kita masing-masing, soal menjadi hebat itu berkat namun soal menjadi baik itu pilihan. Penulis ingat, saat dahulu pernah mengikuti seminar dari Keluarga Mahasiswa Magister Ilmu Hukum (KMMIH) Universitas Gadjah Madah (UGM) Yogjakarta, dengan tajuk “Quo Vadis? Pemberantasan Korupsi di Indonesia?” sontak melihat tajuk tersebut, penulis mengingat sebuah kisah tentang Santo Petrus dizaman Kekristenan awal, berupaya untuk menghindari penyaliban dan lari ke Roma, dalam perjalanan ke Roma dia berjumpa Yesus dan berkata “Quo Vadis Domine?” atau artinya “Kemanakah Guru?” dalam cerita itu Yesus menjawab “Romam vado iterum crucifigi” yang berarti “Aku sedang menuju Roma untuk disalibkan lagi” setelah mendengar perkataan Yesus, Santo Petrus memperoleh keberanian untuk Kembali ke Roma dan menjadi martir. Demikianlah kita hendaknya jangan lari, Ketika korupsi semakin menggila, penguasa banyak yang diam, oligarki merajalela kiri dan kanan, kita sebagai pemegang tongkat estafet bangsa harus berani maju dan menyatakan kebenaran.



[2] Lihat; Mauro Capelleti, Who Watches the Watchman; Comparative Study on Judicial Responsibility, HeinOnline – 31 Am.J.Comp.L.10 1983.

[3] Putusan MK RI Nomor 006/PUU-1/2003 Hlm. 103-104

[4] Susan D. Baer, The Public Trust Doctrine --- A Tool to Make Federal Administrative Agencies Increase Protection of Public Law and Its Resources, dalam Boston College Environmental Affairs Law Review (1998) Hlm. 382

Comments