Indonesia Tak Perlu Balik ke UUD 1945



 

Indonesia Tak Perlu Balik ke UUD 1945

(Sebuah Kajian Mengapa Indonesia Setengah Hati Kembali Ke UUD 1945)

Oleh : Beckham Jufian Podung

Editor : Dian Pratiwi Ahmad

           

            Negara ialah kesatuan masyarakat yang terbentuk, yang memiliki suatu tujuan ketika negara itu terbentuk. Menurut Patricia Leopard, Paul Jackson dan Hood Philips  mengartikan negara sebagai :

            “An Independent political society occupying a defined territory, the members of which are united together for the purpose of resisting external force and the preservation of internal order”.[1]

Secara sederhana ada empat unsur pokok sebuah negara yaitu[2]: 1. A definite territory, 2. Population, 3. A Government 4. Souvereignty. Negara dapat terbentuk lewat sebuah proses revolusi yang akhirnya berujung pada deklarasi kemerdekaan ataupun karena pemberian oleh sebuah  negara yang menjajahnya terlebih dahulu (Negara dalam arti modern), dalam lembaran sejarahpun sebenarnya muncul beberapa pendapat yang mengemukakan bahwa kemerdekaan Indonesia pun pada 17 Agustus 1945 “seolah-olah” merupakan pemberian Jepang yang telah kalah dalam perang dunia kedua, awalnya Jepang merencanakan Indonesia untuk merdeka pada tanggal 24 Agustus 1945. Meskipun begitu, penulis membantah apabila ada yang mengatakan bahwa Kemerdekaan Indonesia merupakan pemberian jepang karena dua alasan, pertama, Kemerdekaan Indonesia sebenarnya telah didengungkan sejak peristiwa Pergerakan Nasional dan lewat Sumpah Pemuda. Kedua, dalam pembukaan UUD Tahun 1945 memang telah jelas mengatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh karena itu penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Kesimpulannya yaitu negara sebenarnya merupakan konstruksi yang diciptakan oleh umat manusia tentang pola hubungan antar manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang diorganisasikan sedemikian rupa untuk maksud memenuhi kepentingan bersama.[3] Oleh karena itu, untuk mengatur pola hubungan antar manusia diperlukan suatu aturan dasar yang ada dalam suatu negara yang dinamakan Konstitusi. Konstitusi menurut Brian Thompson adalah “…. A document which contains the rules for the operating of an organization[4] singkatnya, Konstitusi ialah “aturan main” dalam sebuah negara terlepas dari bentuknya yang tertulis ataupun tidak tertulis dalam satu kesatuan naskah layaknya Konstitusi di Amerika Serikat, Perancis dan Indonesia. sejauh ini perkembangan Konstitusi di Indonesia dapat disimpulkan telah mengalami perkembangan yang cukup signifikan setelah adanya amendemen Konstitusi sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2002, meskipun perlu dicatat bahwa sebenarnya sejak berlakunya dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menegaskan Indonesia kembali ke UUD Tahun 1945 yang disahkan PPKI Pada tanggal 18 Agustus 1945, Indonesia sebenarnya hanya mengalami 1 kali amendemen tetapi dilakukan dalam 4 tahapan yaitu perubahan pertama pada tahun 1999, perubahan kedua tahun 2000, perubahan ketiga tahun 2001, dan perubahan keempat tahun 2002, sebenarnya merupakan satu kesatuan perubahan tanpa diputus-putus[5]. Meskipun begitu amendemen yang dimulai sejak tahun 1999 sampai dengan 2002, telah membawa dampak signifikan atau setidaknya cukup banyak berubah dari ketentuan dalam UUD Tahun 1945 sebelum amendemen. Perlu diingat diera orde lama karena situasi politik yang berubah-ubah, mengakibatkan Konstitusi kita pun terombang-ambing dalam ketidakpastian, bahkan sejak era orde baru, Konstitusi (UUD Tahun 1945) sengaja tidak ingin diubah dengan alibi bahwa UUD 1945 merupakan sebuah mahakarya abadi dari pendiri bangsa dengan slogan utamanya “melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen” justru melahirkan rezim pemerintahan yang otoriter.

Konstitusi adalah satu bentuk peradaban dan peradaban itu menurut Arnold Toynbee adalah hasil tanggapan terhadap tantangan yang dihadapi pada suatu masa. Maka, jika kita berpikir dengan pendekatan paradigmatic Thomas Kunn paradigm yang dihasilkan oleh suatu masa pada saatnya akan mengalami situasi anomaly sehingga lahirlah krisis sebelum datangnya paradigm baru yang menggantikan paradigm lama. Artinya, seharusnya peluang perubahan terhadap Konstitusi tidak boleh ditutup. Bahkan, jika ditutup maka praktik yang akan “memaksanya” untuk berubah entah lewat Judicial Interpretation[6] ataupun jika tidak tersedia hal tersebut maka Konstitusi dapat berubah karena keinginan The Constituent Power layaknya kasus reformasi tahun 1998. Oleh karena itu, hasil capaian yang telah diperoleh oleh reformasi 1998 yang kemudian disusul dengan perubahan Konstitusi telah memberikan kepuasan bagi masyarakat Indonesia, setidak-tidaknya kita telah berhasil untuk pertama kali melakukan amendemen terhadap UUD 1945 sejak orde lama dan orde baru. Hasilnya pun tak bisa kita pandang rendah, meskipun hukum senantiasa tidak bisa memenuhi keinginan semua orang, karena disatu sisi ada yang setuju misalnya terhadap ketentuan A, tetapi ada yang tidak setuju dengan ketentuan A, sekali lagi setidaknya kebebasan kita mengemukakan pandangan setuju atau tidaknya kita semakin bebas diera reformasi terlebih pasca amendemen Konstitusi. Selain itu perubahan Konstitusi kita pula telah banyak membawa dampak misalnya lewat lahirnya sebuah Mahkamah Konstitusi, yang menjadi alat filter bagi setiap Produk hukum yang dibentuk oleh Legislatif, selain itu, kemajuan bernegara pasca amendemen juga Nampak dalam sistem masa jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden dimana hanya bisa menjabat maksimal 2 periode. Karena beberapa hal tersebut dan bahkan masih banyak hal lainnya maka penulis secara tegas mengatakan bahwa kita telah berhasil melaksanakan amendemen konstitusi.

Tetapi, meskipun telah cukup banyak mengalami perubahan, masih banyak pula kaum yang tidak puas terhadap UUD hasil amendemen tahun 1999-2002, misalnya setelah 6 tahun pasca perubahan, muncul 3 golongan yang menanggapi eksistensi dari UUD 1945 hasil amendemen tersebut, ketiga golongan itu yaitu 1. Mereka yang ingin mengadakan perubahan lebih lanjut atas ketentuan UUD NRI Tahun 1945, 2. Mereka yang ingin mempertahankan UUD NRI Tahun 1945 yang berlaku sekarang, dan 3. Yaitu mereka yang menginginkan kita kembali ke UUD 1945 yang asli[7]. Alasannya ialah bahwa UUD hasil perubahan tidak membuat keadaan semakin baik malah semakin tak mampu mengantisipasi dan menangani krisis yang selalu muncul. Sebenarnya kalau kita lihat dari kacamata empiris barangkali pandangan golongan yang ketiga ini ialah wajar, sebab bahkan pasca amendemen praktik KKN era orde baru dan era reformasi tetap berkembang pesat, namun hal ini tidak sepenuhnya dapat diterima karena misalnya, sekarang telah ada Lembaga bernama KPK yang memang di desain independen untuk memberantas korupsi, berbeda dengan era orde baru misalnya dengan keberadaan Komisi 4 yang memang sengaja di desain agar tak berdaya dan mati satu saat nanti. Tetapi itu bukan salahnya UUD karena praktik KKN yang bahkan merajalela di Indonesia bahkan setelah reformasi itu karena orangnya bukan karena UUD, penulis sendiri pernah mengemukakan dalam karya sebelumnya bahwa reformasi tahun 1998 ialah sekedar reformasi kelembagaan saja tetapi bukan reformasi diri setiap warga negara Indonesia, alhasil meski sudah reformasi, praktik KKN tetap merajalela tetapi sekali lagi itu bukan karena UUD.

Selain itu Konstitusi menurut K.C.Wheare ialah resultante terhadap keadaan ekonomi, politik, sosial, budaya atau ekopolsosbud dari suatu negara. Jadi apabila keadaan ekopolsosbud suatu negara berubah maka konstitusi pun dapat berubah. Oleh karena itu adalah suatu kemustahilan apabila Konstitusi yang merupakan resultante terhadap ekopolsosbud kemudian tidak berubah atau tidak mungkin seiring dengan perkembangan suatu zaman yang kemudian keadaan ekopolsosbud suatu negara tidak berubah. Menurut penulis itu hal yang mustahil, oleh karena itu konstitusi sebagai produk politik senantiasa dapat berubah tergantung keadaan, kebutuhan dan pilihan politik suatu negara. Selain itu, dalam lembaran sejarah kita, sebenarnya UUD 1945 yang disahkan PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 merupakan Transition Constitution. Hal ini dikemukakan oleh penulis bukan karena tidak ada alasannya, misalnya Soekarno dalam rapat PPKI 18 Agustus 1945 mengatakan bahwa :

“…. Bahwa Undang-undang dasar yang kita buat sekarang ini adalah Undang-Undang Dasar Sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan: ini adalah Undang-Undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara didalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakjat yang dapat membuat Undang-Undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna…”

Bahkan selanjutnya Soekarno mengatakan :

“…. Bahwa ini adalah sekedar Undang-Undang Dasar sementara, Undang-Undang Dasar Kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutie grondwet. Nanti kita membuat Undang-Undang Dasar yang lebih sempurna dan lengkap. Harap diingat benar-benar oleh tuan-tuan agar supaya kita ini hari bisa selesai dengan Undang-Undang Dasar ini….”[8]

Dari apa yang Soekarno katakan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa UUD 1945 hasil rumusan PPKI sebenarnya pun diharapkan kedepannya agar dapat digantikan oleh UUD 1945 yang jauh lebih sempurna, selain itu menurut George Kahin dalam bukunya Nationalism and Revolution in Indonesia menjelaskan bahwa keluarnya maklumat Nomor. X tahun 1945[9] dikarenakan ada keinginan kuat untuk mengganti UUD 1945 yang dipelopori oleh tokoh-tokoh muda[10] dari napak tilas sejarah ini dapat disimpulkan bahwa sebenarnya UUD 1945 Karya The Founding People ini sebenarnya di desain untuk diubah satu saat nanti, namun sekali lagi penulis tekankan bahwa perubahan atau amendemen Konstitusi setiap negara dibelahan dunia selalu didasarkan pada keadaan, kebutuhan dan pilihan politik disetiap negara. Semuanya tergantung pada apa dan bagaimana konstitusi yang baik dipandang oleh setiap negara, sering mengubah konstitusi ataupun tak pernah mengubah konstitusi sama sekali tidak akan pernah menjadi alasan sebuah negara tersebut mampu atau tidak mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan umum bagi tiap negara masing-masing. Jepang misalnya, meskipun tidak pernah mengamendemen Konstitusinya namun dari segi bernegara jepang tetap berada pada jalurnya yang baik dan bahkan pertumbuhan ekonominya pun masih tetap baik, India yang dikenal dengan negara dengan amendemen konstitusi yang relative banyak yaitu sebanyak 103 kali amendemen konstitusi namun tetap terjadi disintegrasi nasional yang membuat terbentuknya negara Pakistan. Sekali lagi semuanya kembali ke keadaan, kebutuhan dan pilihan politik setiap negara. Meskipun begitu penulis cenderung sepakat dengan pendapat golongan pertama dan kedua yaitu mereka yang menerapkan konstitusi yang ada sekarang sambil membuka diri akan adanya perubahan UUD NRI Tahun 1945 kedepannya. Meskipun mengamendemen konstitusi yang ada sekarang pun tak pernah menjamin bahwa perubahan tersebut dapat dterima oleh semua orang, tetap ada yang sepakat akan hasil-hasil perubahannya namun disatu sisi akan ada pula yang tidak sepakat akan hasil-hasil perubahannya, dan perubahan Konstitusi akan menjadi sebuah keniscayaan.



[1] Hood Philips, Paul Jackson and Patricia Leopold, Constitutional and Administrative Law, 8th Edition, (London: Sweet and Maxwell, 2001). Hlm. 4

[2] Appadorai, The Substance of Politics, (India: Oxford University Press, 2005), Hlm. 11.

[3] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Hukum Tata Negara, (Jakarta; RajaGrafindo Persada, 2009) Hlm. 11.

[4] Brian Thompson, Textbook on Constitutional and Administrative Law, 3rd (London: Blackstone Press, 1997) Hlm. 3

[5] Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amendemen Konstitusi, ( Jakarta; Rajawali Pers, 2010) Hlm. XII

[6] Pan Moh. Faiz, Amendemen Konstitusi, (Jakarta; Rajawali Pers, 2019) Hlm. VIII

[7] Mereka yang dipelopori oleh Tyasno Sudarto dan Ridwan Saidi CS

[8] Ibid. Hlm. 89-90

[9] Selengkapnya mengenai maklumat Nomor X Tahun 1945 dapat dibaca dalam buku Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu karya Mahfud MD.

[10] Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu (Jakarta; Rajawali Pers, 2009) Hlm. 184

Comments