Gagasan Konstitusi Teologi Antara Tuhan dan Negara


 

Gagasan Konstitusi Teologi : Antara Tuhan dan Negara

(Kajian Terhadap UUD NRI Tahun 1945

Sebagai Konstitusi Dengan Kata Tuhan Terbanyak di Dunia)

Oleh : Beckham Jufian Podung

Editor : Anjali J. A. Walukow

 

Pada tanggal 12 Februari 2021, waktu penulis menyusun karya ini bertepatan pula dengan hari raya imlek yang sering dirayakan oleh etnis tionghoa bahkan oleh seluruh masyarakat Indonesia setiap tahunnya. Perayaan ini senantiasa dimaknai dengan suatu perayaan pemersatu bangsa, misalnya pada tahun 2020 perayaan imlek menyusun tema mengenai persatuan[1] tetapi mungkin masih banyak diantara kita yang tidak tahu bagaimana sejarah panjang dibalik perayaan imlek di negara Pancasilais Indonesia.[2] Sejarah  tinggallah sejarah, kehidupan berbangsa di Indonesia patutlah kita syukuri, karena pasca reformasi ketatanegaraan “besar-besaran” bangsa kita telah mengalami berbagai kemajuan dalam segi seni bernegara yang semuanya tercermin dalam dasar hukum utama negara kita yaitu UUD NRI Tahun 1945.

Sejak era kemerdekaan dan pasca ditetapkannya UUD Tahun 1945 pada 18 Agustus 1945, konstitusi kita pada awalnya telah terlahir sebagai “integrating constitution” meskipun mendapatkan perdebatan yang cukup elok dalam penyusunannya (akibat dari keinginan para pihak yang besar untuk memasukkan berbagai hal dalam konstitusi kita) mengakibatkan Soekarno angkat bicara dan menyebut bahwa UUD 1945 ialah UUD “KILAT” dan oleh Karena itu akan adanya kemungkinan amendemen konstitusi untuk memperlengkap konstitusi yang ada yaitu UUD Tahun 1945, oleh karena itu UUD 1945 dikenal dengan UUD yang singkat dalam perumusannya misalnya jika dibandingkan dengan penyusunan konstitusi modern awal yang muncul yaitu konstitusi Amerika Serikat yang memakan waktu 13 Tahun dalam penyusunannya. Kembali ke konsep Integrating Constitution pada awalnya (yang berkembang pertama kali di Amerika Serikat saat itu) konstitusi dipahami sebagai political document atau dokumen politik semata, sehingga dalam konstitusi Amerika misalnya tidak dikenal konsep ekonomi dalam konstitusinya, apalagi konsep berTuhan, karena doktrin awal konstitusi ialah hanya naskah politik semata.[3] Berbeda dengan konsep konstitusi kita, yang tidak hanya memuat segala aturan mengenai politik semata tetapi juga menjadi konstitusi ekonomi, konstitusi hijau, konstitusi HAM dan bahkan konstitusi berketuhanan. Oleh karena itu konstitusi kita ialah konstitusi berdasarkan konsepsi prismatik[4] (meminjam istilah Fred Giggs) yaitu konsepsi yang merupakan integrasi atau penyatuan nilai-nilai yang baik dalam bangsa Indonesia sendiri ke dalam satu konsep bernama Undang-Undang Dasar.

Banyak hal yang mungkin sering kita abaikan ketika kita mengupas konstitusi kita khususnya konstitusi hasil amandemen UUD NRI Tahun 1945. Tanpa kita sadari konstitusi kita ternyata merupakan konstitusi berketuhanan (Godly Constitution) yaitu sebuah konstitusi yang bukan bersifat anti Tuhan ataupun konstitusi yang berusaha menjauhkan sama sekali urusan keagamaan dan ketuhanan yang maha esa dari lingkup keadaan bernegara  atau dalam ruang lingkup public layaknya dinegara-negara sekuler,[5] bahkan dapat dikatakan bahwa konstitusi kita ialah konstitusi dengan kata Tuhan terbanyak didunia, oleh karena itu dapat dikatakan “UUD 1945 is not a godless constitution, but a very godly constitution”[6].

Dalam konstitusi kita terdapat kata ALLAH 2 kali, TUHAN 2 kali, Agama 10 kali, kepercayaan 2 kali, keimanan 1 kali, ketakwaan 1 kali, akhlak mulia 1 kali, Yang Maha Esa 2 kali dan yang Maha Kuasa 1 kali. Yang artinya UUD 1945 telah mencerminkan sebuah negara dengan ide tentang Tuhan dan Agama, bahkan dapat dikategorikan sebagai The Most Godly Constitution in the World. Meskipun perlu ditekankan bahwa Indonesia bukanlah negara agama tetapi bukanlah pula negara sekuler, Indonesia ialah Religious Nation State yaitu negara yang beragama tetapi bukan negara untuk agama tertentu[7]. Di Indonesia terdapat 6 agama besar di seluruh dunia yang tergabung dalam kemajemukan masyarakat Indonesia, yang didalamnya pun terbagi atas ratusan suku dan ribuan bahasa lokal yang tentunya menjadikan Indonesia dengan negara yang kaya akan perbedaan namun rentan pula akan perbedaan.

Sebenarnya gagasan Godly Constitution telah ada sejak awal penetapan UUD 1945 sebagai  konstitusi pada tanggal 18 Agustus 1945. Hal ini dengan jelas termaktub dalam BAB XI tentang agama pasal 1 dan 2 yang memang menjamin kebebasan umat beragama. Tetapi akibat munculnya orde baru pasca tumbangnya Soekarno, mengakibatkan konstitusi kita menjadi “lumpuh total”, alasan memberantas komunisme menjadi tameng utama orde baru. Selain itu, pemerintahan otoriter pada saat itu mengakibatkan politik hukum yang luar biasa parah terjadi di negeri ini dimana hukum yang represif dan tidak responsif bertebaran dimana-mana, sehingga UUD 1945 pada saat itu seperti layaknya teori Karl Loeweinstein yaitu konstitusi yang hanya bernilai semantik,  yang artinya konstitusi tetap berlaku namun hanya formalitas semata dan digunakan dalam menjalankan kekuasaan politik. Dalam praktiknya, terdapat penyelewengan yang mengakibatkan konstitusi tidak dijalankan sama sekali.

Kini orde baru telah lama tumbang (meskipun sisa-sisa aktor hebatnya masih ada), dan kita telah memasuki zaman hukum modern, meskipun hukum modern kita tidak pernah menjamin bahwa keadilan ialah hak semua orang dan kebenaran akan selalu terungkap pada yang benar. Begitu pula dengan konstitusi kita, Meskipun UUD NRI Tahun 1945 telah mengalami amendemen secara “ekstrim” dan kini kita hidup dizaman kita mengilhami UUD NRI Tahun 1945 sebagai pedoman berkebangsaan, tidak serta merta menjamin bahwa UUD NRI Tahun 1945 memang betul-betul telah hidup ditengah-tengah kita. Misalnya dalam konsep Godly Constitution¸ di Indonesia setiap tahunnya dirilis per provinsi mana yang memiliki tingkat toleransi antar umat beragama yang tinggi dan yang rendah, adanya indeks ini sebenarnya menunjukan kepada kita bahwa ada-ada saja praktik intoleransi berkembang di negeri ini, meskipun konsep Godly Constitution kita menjamin akan kebebasan umat beragama, kemudian permasalahan berikut ialah bahwa meskipun konstitusi kita sejak lahirnya telah menganut Godly constitution namun,  kelihatannya hal tersebut dimaknai keluar sebagai interaksi antara umat beragama yang saling menghargai. Padahal gagasan Godly Constitution harus pula diartikan bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan setiap pejabat negara haruslah didasarkan pada etika dan moral yang baik dalam bernegara.

Karena kegagalan dalam memahami hal tersebut maka jangan heran apabila banyak pejabat kita yang meskipun bersumpah setia dihadapan Tuhan Yang Maha Esa, namun  masih saja terjebak dalam kasus korupsi, bahkan sangat memalukan apabila kita kembali mengingat skandal korupsi di Kementerian Agama era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono[8] yang melibatkan para pejabat negara yang melakukan korupsi terhadap pengadaan kitab suci Al-Quran. Sangat memalukan memang, oleh karena itu Supremacy of Constitution haruslah ditegakkan setegak-tegaknya, kita tidak bisa lagi menjebak pikiran kita bahwa UUD NRI Tahun 1945 ialah hanya sebagai a document which contains the rules for operating an organisation seperti yang dikatakan oleh Brian Thompson atau pun hanya sebagai Het Recht dat Regelt de Organisatie layaknya Paul Scholten katakan,  Melainkan UUD NRI Tahun 1945 haruslah menjadi Konstitusi yang hidup (meminjam judul buku karya Maruarar Siahaan). Artinya konstitusi kita bukanlah kumpulan tulisan saja melainkan ia adalah nilai-nilai yang hidup sebagai Volkgeist (Jiwa Bangsa) menurut Savigny, yang harus dihidupkan sepenuhnya dalam kehidupan bernegara kita khususnya dalam kehidupan berketuhanan dan beragama.



[2] Perayaan imlek di Indonesia pernah dilarang diera orde baru dengan Instruksi Presiden Nomor 14 tahun 1967, namun Pada tahun 2000 masyarakat Tionghoa di Indonesia mendapat kebebasan merayakan tahun baru Imlek ketika Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967. Pada tanggal 9 April 2001 presiden “Gusdur” mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakan). Kemudian Presiden Megawati menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional pada tahun 2003.

[3] Hal ini ikut memengaruhi misalnya C.F.Strong yang bahkan dari judul bukunya telah menggambarkan isi dari Konstitusi tersebut dimana judul bukunya diberi judul modern politicaln constitution: an introduction to the comparative study of their history and exiting form

[4] Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara, Rajawali Pers, 2010. Hal. 6

[5] Negara sekuler adalah salah satu konsep sekularisme, di mana sebuah negara menjadi netral dalam permasalahan agama, dan tidak mendukung orang beragama maupun orang yang tidak beragama. Dengan kata lain negara tidak dapat masuk ke dalam kehidupan pribadi agama setiap warganya.

[6] Jimly Ashiddiqie, Konstitusi Keadilan Sosial, Kompas Gramedia, 2018. Hal. 19

[7] Mahfud MD, Op.Cit. Hal. 6

[8] Dapat diakses di https://news.detik.com/berita/d-3558925/kronologi-korupsi-pengadaan-al-quran-di-kementerian-agama-2011-2012

Comments