Gagasan Jabatan Presiden 3 Periode
Antara Rakusisme Atau Egoisme
Oleh : Beckham Jufian Podung
Editor : Dian Pratiwi Ahmad
Melihat judul yang penulis haturkan diatas, tampaknya mungkin pembaca mampu membaca sikap penulis untuk tetap berdiri tegak sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945 saat ini yaitu berpegang teguh pada pasal 7 UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan Selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam masa jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.” Yang artinya Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia hanya dibatasi untuk masa jabatan lima tahun untuk dua periode, berarti Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia hanya maksimal menjabat 10 Tahun dan sesudah itu mereka tidak dapat mencalonkan diri kembali dalam posisi yang sama. Memang sesudah Indonesia mengalami reformasi tahun 1998, siapa saja diperbolehkan untuk mengemukakan pendapat dan gagasannya yang bertanggung jawab, maka gagasan jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk boleh menjabat selama 3 periode sebenarnya sah saja, tetapi demikian pula setiap orang diperbolehkan mengemukakan gagasan tersebut maka setiap orang pula diperbolehkan untuk menentang gagasan tersebut. Itulah indahnya demokrasi yang berusaha kita rebut dan bangun kembali sesudah orde baru tumbang ditahun 1998. Penulis sendiri mengemukakan penolakannya bukan karena tidak ada alasannya, menurut penulis terdapat beberapa alasan mengapa seharusnya gagasan tersebut adalah gagasan ngacok dan tidak konstitusional yaitu:
pertama secara yuridis normative untuk meloloskan gagasan tersebut harus terlebih dahulu diadakan amendemen ke-5 UUD NRI Tahun 1945, itupun kalau kita mengamendemen UUD saat ini tanpa road map yang jelas tentunya justru hanya akan berdampak pada gagalnya sistem pemerintahan dalam suatu negara, meskipun kita bersyukur karena setidaknya atau sekurang-kurangnya Amendemen Konstitusi tahun 1999 sampai 2002 telah banyak melahirkan gagasan bernegara yang lebih segar, lebih konstitusional dan lebih demokratis. Namun keberadaan Konstitusi yang lebih baik pasca amendemen UUD 1945, bukanlah berarti bahwa tugas konstitusionalitas telah selesai[1] namun, tak bisa di pungkiri bahwa Amendemen Konstitusi tahun 1999-2002 masih banyak menyisakan problematika bernegara. Misalnya dengan keberadaan DPD antara ada dan tiada, ketidakjelasan fungsi legislasi antara milik Presiden atau DPR, timbulnya gejala From Executive Heavy To Be Legislative Heavy, kekaburan fungsi dan kedudukan sistem parlemen antara bicameral atau trikameral, kegagalpahaman pengadopsian konsep lembaga negara independen dan sebagainya. Menurut penulis sendiri problematika tersebut seharusnya turut pula diakomodir dalam amendemen UUD lanjutan dan bukan hanya mengotak-atik masa jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Mengubah UUD NRI Tahun 1945 tanpa Road Map yang jelas justru hanya mengantarkan Indonesia bukan kedepan pintu gerbang kemerdekaan, melainkan kepintu gerbang Indonesia bubar. Hal ini bukanlah tidak beralasan, jika mengacu pada pengklasifikasian Cheryl Saunders terdapat 3 tahapan utama yang seharusnya menjadi tolok ukur sebelum dilaksanakan amendemen konstitusi yaitu Agenda setting (agenda), development & design (pengembangan dan perencanaan) dan approval (pengesahan)[2]. Salah satu Negara yang berhasil menerapkan amendemen konstitusi dengan 3 tahapan ini ialah Afrika Selatan.
Tentunya implementasi ketiga tahapan itu tidaklah mudah, mengapa? Karena selain menguras tenaga para Constitutional Maker tentunya, hal tersebut membutuhkan anggaran yang cukup besar pula. Bandingkan saja misalnya dengan tahapan development and design yang terjadi di Afrika Selatan, dimana pada tahap pengembangan dan perencanaan, Afrika Selatan senantiasa mengembangkan Konstitusi berdasarkan Public Participation melalui perdebatan konstitusi di 37 program televise, Talk Show diradio dengan delapan Bahasa, 160.000 jurnal dua mingguannya, internet dan hotline telepon dengan 5 bahasa dan bahkan ditindaklanjuti dengan penyebarluasan 5 juta eksemplar draf pertama dan 7 juta eksemplar rancangan kedua dalam 11 bahasa di Afrika Selatan bahkan ditambah dengan penyediaan draf konstitusi dalam bentuk kaset rekaman dan huruf braile bagi warga negara yang tunanetra ditambah 1 juta eksemplar format konstitusi dalam bentuk komik HAM disebar disekolah-sekolah.[3] Hal ini menunjukan betapa pentingnya penyebarluasan dan penyerapan aspirasi dalam menentukan nasib bangsa lewat amendemen konstitusi yang demokratis, karna pembatasan yang konstitusional dan demokratis hanya dapat dilakukan dengan cara yang konstitusional dan demokratis pula.
Kedua dari aspek sosiologis, tentunya sulit dilakukan amendemen lanjutan yang demokratis disaat negara saat ini sedang meletakkan fokusnya untuk berperang melawan wabah pandemic covid-19, dan apabila dipaksakan akan sangat mungkin untuk menyebabkan pertentangan yang tidak diperlukan dikalangan masyarakat pada umumnya, dan sekali lagi itu bukan langkah yang bijak disaat bangsa sedang mati-matian berperang melawan wabah covid-19 saat ini.
Ketiga, dari aspek filosofis, penulis sendiri tertarik dengan apa yang dikemukakan oleh Prof. Mahfud MD dalam artikelnya yang disampaikan pada Seminar Konstitusi “Kontroversi amendemen UUD 1945 dan Pengaruhnya Terhadap Sistem Ketatanegaraan” bahwa salah satu kegagalan UUD 1945 yang asli yang kemudian melahirkan pemerintahan yang otoriter ialah karena UUD 1945 terlalu mempercayai semangat orang daripada membentuk sistem yang kuat[4] karena semangat yang baik tanpa sistem yang baik akan cenderung disalahgunakan, oleh karena itu semangat membentuk pemerintahan yang baik harus sejalan pula dengan pembentukan sistem yang baik. Oleh karena itu barangkali para pencetus gagasan Presiden dan Wakil Presiden 3 periode justru tampaknya mengalami gagal paham akan esensi “Tema Utama” dibalik lahirnya amendemen UUD Tahun 1999-2002 yaitu Tema mengenai adanya ide Pembatasan Kekuasaan, yang telah terbukti justru tanpa pembatasan yang tepat akan menghasilkan pemimpin yang otoriter. Kalau kita melihat sedikit perbandingan masa jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden diseluruh dunia memang cenderung relative, misalnya Amerika Serikat dimana Presiden dan Wakil Presiden hanya menjabat selama 2 periode, dengan masing-masing periode 4 tahun menjabat, berbeda dengan Filipina dan Meksiko dimana Presiden menjabat hanya selama 1 periode namun dengan masa jabatan yang relative Panjang yaitu 6 tahun menjabat.[5] Meskipun betul apabila para politisi kita mengatakan bahwa semuanya tergantung pilihan politik kita, namun apabila kita berkaca dari pendapat K.C.Wheare yang mengatakan bahwa Konstitusi ialah resultante dari keadaan ekonomi, politik, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan (EKOPOLSOSBUDHANKAM) maka tampaknya para penggagas 3 periode tersebut hanya memahami Konstitusi sebagai resultante keadaan politik saja, tanpa memerhatikan keadaan lainnya seperti ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan dan bahkan diera pandemic saat ini yaitu kesehatan.
Oleh karena itu, penulis tiba pada kesimpulan bahwa gagasan jabatan Presiden dan Wakil Presiden 3 periode adalah gagasan yang terburu-buru dan bahkan menurut penulis gagasan tersebut terkesan ´ASBUN’ alias Asal Bunyi, karena gagasan tersebut dikemukakan tanpa melihat kondisi dan situasi bangsa saat ini. Meskipun penulis sendiri sebenarnya telah mengatakan secara implisit dari judul artikel ini bahwa gagasan tersebut antara rakusisme dan egoisme sebenarnya bukanlah berlebihan dan tanpa tanggung jawab, asumsi tersebut muncul akibat dari ketidakjelasan maksud dari penggagas ide tersebut karena ide tersebut justru dikemukakan tanpa Road Map yang jelas dan terkesan mengabaikan kondisi masyarakat yang saat ini tengah berjuang melawan Covid-19. Oleh karena itu, penulis sendiri menyarankan agar setiap pihak tentunya tidak boleh mempermainkan Konstitusi kita dengan cara entengnya mengemukakan gagasan tanpa road map yang jelas untuk diadopsi dalam UUD NRI Tahun 1945. Meskipun silahkan semua orang bisa saja mengemukakan pendapat, namun, bukan berarti bahwa kebebasan mengemukakan pendapat tidak disertai dengan tanggung jawab sosial dalam mengemukakan pendapat. Kedepannya penulis sendiri tertarik membahas berbagai gagasan mengenai amendemen UUD NRI Tahun 1945 yang tentunya berbagai gagasan yang tentunya terlebih dahulu melalui kajian secara mendalam dan komprehensif seperti yang pernah dilaksanakan oleh Afrika Selatan dahulu.
[1] Denny Indrayana, Negara Antara Ada & Tiada, (Jakarta; Kompas Gramedia, 2008) Hlm. 34
[3] Op.Cit Hlm. 115
[4] Disampaikan dalam seminar yang diselenggarakan oleh Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) di Jakarta, 12 April 2007.
[5] Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, (Jakarta; FH UII PRESS, 2003) Hlm. 84-85
Comments
Post a Comment