PARAMETER PEMBUKTIAN TERHADAP PENGAKUAN TELAH MELAKUKAN TINDAK PIDANA

PARAMETER PEMBUKTIAN TERHADAP PENGAKUAN

TELAH MELAKUKAN TINDAK PIDANA

(Tinjauan Yuridis Terhadap Kasus Pengakuan Ibu Sarah Terhadap Pembunuhan Roy Dalam Drama Ikatan Cinta)

Penulis : Beckham Jufian Podung

Editor : Arbirelio Walukow

Pembuktian merupakan bagian yang amat penting dalam suatu proses pidana yang berlaku. Pembuktian adalah perbuatan membuktikan, membuktikan berarti memberi atau memperlihatkan bukti, melakukan sesuatu sebagai kebenaran, melaksanakan, menandakan menyaksikan dan meyakinkan.[1]

Dalam suatu proses pembuktian, dengan berbagai mekanisme sebagaimana yang telah diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tujuannya tidak lain ialah untuk menemukan kebenaran secara sebenarnya-benarnya, dengan pembuktian, seseorang baik Penuntut umum maupun Penasihat Hukum wajib memperlihatkan bukti guna memperingan atau memperberat hukuman bagi seorang tersangka. Prof. Subekti Sendiri meyakini bahwa membuktikan berarti kebenaran akan dali-dalil yang dikemukakan.[2] Hal ini sejalan dengan asas hukum yaitu actori incumbit onus probandi yang berarti siapa yang menuntut (mendalilkan) dialah yang wajib membuktikan, dalam konteks hukum pidana maka yang wajib membuktikan ialah seorang Jaksa Penuntut Umum, karena jaksalah yang bertindak untuk mendalilkan kesalahan terdakwa, namun, apabila tidak dapat dibuktikan maka berdasarkan asas actore non probante , reus absollvitur , yang berarti jika tidak dapat dibuktikan, terdakwa harus dibebaskan. Adanya asas ini sebenarnya merupakan konsekuensi logis, sebab, seyakin apapun penuntut umum, terhadap seseorang yang didakwanya, tanpa bukti yang cukup, keyakinan itu tidak bisa memenjarakan seseorang.

Seorang ahli hukum pada dasarnya mengetahui betapa pentingnya proses pembuktian, sebab tanpa bukti hukum itu lemah, seyakin apapun hukum dan setegas apapunn hukum itu, pada dasarnya hukum terbelenggu dalam suatu proses membuktikan Tindakan dan niat seseorang. Karena, membuktikan Tindakan bisa saja diperoleh dengan rekonstruksi hukum, namun membuktikan niat seseorang untuk melakukan pidana, bukanlah perkara sederhana. Oleh karena itu hukum memberi celah agar setiap orang yang cacat dan tidak bisa bertanggung-jawab secara mental tidak bisa dipidana berdasarkan prinsip alasan pemaaf.

Berkenaan dengan pentingnya suatu pembuktian dalam dunia hukum, penulis terinspirasi membahas ini berdasarkan sebuah kasus yang pernah penulis perhatikan. Yakni, penulis terinspirasi untuk membahas mengenai parameter pembuktian hukum karena penulis pernah memperhatikan postingan di akun twitter Menkopolhukam RI Prof. Mahfud, yang mengulas mengenai suatu drama di salah satu stasiun TV nasional, dimana seorang ibu ditangkap oleh polisi berdasarkan pengakuannya yang mengaku bahwa dia telah membunuh seseorang, padahal, pengakuan semata bukanlah bukti yang kuat, perlu pembuktian lebih lanjut untuk bisa memidana seseorang, dalam hukum pidana terdapat 6 parameter pembuktian yaitu,

a)     bewijstheorie,

b)     bewijsmiddelen,

c)     bewijsvoering,

d)     bewijslast,

e)     bewijskracht ,dan

f)      bewijs minimum.

Bewijsmiddelen adalah alat-alat bukti yang digunakan untuk membuktikan telah terjadi suatu peristiwa hukum, dalam hal ini alat bukti telah diatur dalam pasal 184 KUHAP[3]. Bewijsvoering diartikan sebagai penguraian cara bagaimana menyampaikan alat bukti kepada hakim. Untuk memeroleh alat bukti, seorang polisi dan bahkan penuntut umum harus melakukannya berdasarkan ketentuan KUHAP, apabila dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan maka alat-alat bukti tersebut dianggap tidak sah atau yang dinamakan dengan unlawful legal evidence atau tainted evidence (bukti yang ternodai) praktik ini biasanya berkembang di Amerika serikat, dimana bagi negara seperti Amerika Serikat, due process model dinegara tersebut sangat menjunjung Hak Asasi Manusia, jadi apabila bukti yang diperoleh didapatkan tidak berdasarkan due process maka bisa saja tuntutan seorang penuntut umum gugur di pengadilan,

begitupula dengan parameter Bewijslast, dalam parameter ini, beban pembuktian dibagi untuk para pihak, dimana baik pihak penuntut umum maupun penasihat hukum wajib membuktikan kebenaran yang ada untuk kemudian memperberat atau memperingan pidana bagi terdakwa. Adapula yang namanya Bewijskracht yang dapat diartikan sebagai kekuatan pembuktian masing-masing alat bukti, dalam kasus pengakuan tersebut, sangat erat kaitannya dengan bewijskracht atau nilai suatu alat bukti, meskipun sebenarnya kekuatan alat bukti dalam pidana pada dasarnya semuanya sama, hanya saja dalam kasus pengakuan seorang yang mengaku telah melakukan tindak pidana, maka baik polisi dan jaksa tidak bisa hanya menerimanya begitu saja, berdasarkan asas In criminalibus probationes debent esse luce clariores. Adagium tersebut bermakna, dalam hukum pidana, bukti harus lebih terang daripada cahaya. Asas ini menyiratkan bahwa, sebenarnya dalam perkara pidana apapun, pembuktian lebih lanjut sangat diperlukan untuk menentukan benar atau salahnya seseorang.

Menurut hemat penulis, polisi maupun jaksa bisa saja menggunakan pengakuan sebagai landasan dilakukannya penyelidikan sebagaimana diatur dalam pasal 1 butir 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dengan penyelidikan, penyelidik akan mencari bukti-bukti yang dapat dipergunakan untuk membuktikan benar atau tidaknya suatu pengakuan tersebut. Dan parameter terakhir yaitu bewijs mininmum atau bukti minimum yang diperlukan dalam pembuktian, dalam ha l ini KUHAP mensyaratkan bahwa untuk bisa memidana seseorang, minimal harus ada dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim, dalam hal kasus pengakuan tersebut, polisi pada dasarnya baru memiliki bukti berupa pengakuan, bukti itu pun sebenarnya dari segi probative evidence atau singkatnya dapat disebut sebagai bukti probative atau nilai suatu bukti, sebenarnya tidak cukup kuat. Penulis sendiri apabila memosisikan diri sebagai hakim yang menangani kasus tersebut tentunya tidak akan sepenuhnya memercayai pengakuan tersebut tanpa bukti pendukung yang lain. Karena proses pembuktian pada dasarnya dilakukan untuk memeroleh suatu keyakinan daripada hakim itu sendiri untuk menentukan bersalah atau tidaknya seorang terdakwa. Karena seorang hakim, menurut Ian Dennis ditegaskan bahwa “at the end of the contested trial the court will have to evaluate the relevant and admissible evidence that it received”.[4]

Oleh karena itu berdasarkan segala teori yang dikemukakan oleh penulis berkaitan dengan parameter pembuktian tindak pidana, penulis sebenarnya sepakat dengan apa yang dikemukakan oleh Prof. Mahfud, yakni tampaknya, penulis cerita tidak memahami hukum secara komprehensif dan radikal. Alhasil, bagi seorang ahli hukum, hal tersebut mengganjal setiap khazanah ahli hukum yang mengetahui hal tersebut. Kiranya dengan ini, kita semakin memahami betapa pentingnya pembuktian dalam dunia hukum, khususnya bagi para insan juris, penulis harapkan untuk lebih mendalami hal ini dalam teorinya maupun dalam praktiknya.



[1] Eddy Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2012) Hlm.3

[2] Ibid

[3] Dalam pasal 184 KUHAP alat bukti terdiri dari : keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

[4] Ian Dennis, The Law Evidence, Edisi Ke-3 (London: sweet and maxwell, 2007) Hlm. 6


 

Comments