Gagasan Seleksi Capres Terbuka (Stigmatisasi Presiden “bukan” antek partai)

 

Gagasan Seleksi Capres Terbuka”

(Stigmatisasi Presiden “bukan” antek partai)

Oleh : Beckham Jufian Podung

Editor : Dian Pratiwi Ahmad

 

            Tepat pada bulan Mei Tahun 2021, Indonesia merayakan sebuah pergerakan besar yang telah genap berusia 23 Tahun, tepat dimana pada Tahun 1998 (23 Tahun yang lalu) terjadilah pergerakan yang bernama Reformasi. Bagi kita yang hidup dizaman tersebut masih segar diingatan kita mengenai hiruk pikuk reformasi sebagai titik balik bagi geopolitik Indonesia dan juga sebagai titik balik reformasi Ketatanegaraan Indonesia dimulai.[1] Salah satu agenda terbesar dalam sejarah NKRI berdiri ini pun telah memutarbalikkan keadaan bernegara Indonesia yang penulis istilahkan “amburadul”, istilah tersebut bukanlah tidak wajar ketika kita sekilas melihat cara bernegara Orde Baru yang katanya menjunjung Pancasila tetapi justru tidak pancasilais.[2]

            Meski sudah berusia 23 Tahun reformasi “berdarah” kita, tetapi menurut penulis reformasi tersebut hanyalah reformasi yang mengubah banyak bentuk kelembagaan dan dasar bernegara kita yaitu UUD NRI Tahun 1945, reformasi Tahun 1998 bukanlah reformasi yang menyentuh jiwa dan kepribadian setiap Warga Indonesia. Alhasil, meski sudah 23 Tahun Reformasi masih banyak saja Praktik Korupsi Kolusi dan Nepotisme yang terjadi, termasuk pula intoleransi, kerakusan, sikap oportunis, pelecehan hukum, keinginan untuk memperkaya diri secara instan.[3] Oleh karena itu “keamburadulan” itu pun berdampak terhadap sistem demokrasi kita.

            Indonesia dikenal sebagai negara demokrasi ke-3 terbesar didunia setelah Amerika Serikat dan India, penulis pun memberi catatan bahwa Indonesia dikategorikan terbesar ke-3 didunia berdasarkan Jumlah DPT dan banyaknya pemilihan yang harus dilaksanakan, wajar saja kalau Indonesia dikategorika sebagai negara ke-3 dengan demokrasi terbesar didunia, misalnya, tiap 5 tahun sekali kita melaksanakan pemilihan  Presiden dan Wakil Presiden, kemudian disusul dengan pemilihan Legislatif yang mencakup DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, ditambah dengan pemilihan Kepala Daerah mencakup Gubernur dan Wakil Gubernur atau Bupati dan Wakil Bupati ataupun Walikota dan Wakil Walikota, bahkan ditiap desa sering diselenggarakan Pemilihan Kepala Desa. Bayangkan saja berapa banyak DPT Di Indonesia dan berapa saja ongkos dalam pelaksanaan Pemilihan tersebut. Sebagai contoh,  Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memaparkan realisasi anggaran Pilkada tahun 2020, tahun 2020 sendiri pemerintah akan menambahkan anggaran APBN sebanyak Rp 4,77 triliun untuk melaksanakan pesta demokrasi daerah. Sri Mulyani menjelaskan bahwa anggaran Pilkada 2020 sendiri totalnya Rp 20,4 triliun, naik dari rencana awal yang cuma disiapkan Rp 15,23 triliun. Hal ini terjadi karena perlunya tambahan dana untuk membiayai anggaran protokol kesehatan pada saat Pilkada dilakukan.[4] Pilkada tersebut hanya dilaksanakan di 270 Daerah di Indonesia, hal tersebut belum mencakup Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan legislative dan bahkan pemilihan Kepala Daerah didaerah lainnya. Jadi jangan heran jika negara kita memang dikategorikan sebagai top three negara dengan demokrasi terbesar.

            Permasalahan “over demorazy” di Indonesia tidak hanya sampai disitu saja, maraknya politik dinasti, ongkos politik yang mahal, seleksi calon yang kurang terbuka menjadi masalah utama yang menjadi perhatian penulis, khususnya pada bagian seleksi calon yang tidak terbuka khususnya pada Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Fenomena tersebut bukan hanya gurauan belaka, karna memang sudah menjadi rahasia jabatan bahwa Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia lahir akibat “tawar menawar” politik yang kian kuat dan bukan karena kualitas dan kapasitas dari calon tersebut. Tidak mengherankan kalau hal itu terjadi, karena memang secara Yuridis normative hukum kita hanya memberi ruang bagi calon Presiden dan Wakil Presiden maju “asalkan” partai politik berkenan[5].

            Fenomena Calon Presiden dan Wakil Presiden yang hanya dapat maju apabila direstui partai bagi penulis cukup berbahaya khususnya untuk menjamin demokrasi yang betul betul sedemokratis mungkin, artinya ialah Proses demokrasi di Indonesia meminjam teori dari Hans Kelsen haruslah Sollenkategorie yaitu harus sebagai keharusan dan bukan sebagai Seinkategorie yaitu sebagai kenyataan bahwa sudah seharusnya (sebagai keharusan/Sollenkategorie) Presiden dan wakil Presiden yang terpilih betul betul merupakan keinginan murni rakyat yang berdasarkan hati nurani yang sesuai dengan kapasitas dan kualitas calon Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih. Hal ini hanya dapat terwujud apabila Partai politik sebagai alat penggerak politik yang nantinya membantu tiap calon Presiden dan Wakil Presiden dalam menggapai kekuasaan, melaksanakan seleksi yang selektif dan terbuka bagi siapa saja yang mau mencalonkan diri lewat partai politik tersebut dan bukan berdasarkan tawar menawar politik yang cenderung memiliki Conflict of Interest yang kuat.

            Hal ini pun ikut diperparah dengan Politik dinasti yang kalau kita tinjau sedang merajalela di partai politik di Indonesia, penulis beranggapan bahwa siapa saja yang membaca karya penulis ini sudah mengetahui kira-kira siapa saja partai politik yang penuh dengan kongkalikong antar keluarga. Hal ini sangat mencederai demokrasi yang dibangun dengan darah ini, karna bisa saja meskipun seseorang memiliki kapasitas yang kurang mumpuni dan banyak tidak mengetahui seluk-beluk pemerintahan ikut dicalonkan sebagai pemimpin entah Eksekutif ataupun Legislatif, padahal diluar sana ada banyak anak bangsa yang jauh lebih layak karna memiliki kapasitas dan kemampuan untuk menduduki kekuasaan baik eksekutif maupun legislative, tetapi tidak bisa dicalonkan karna bukan sedarah. Akhirnya siapapun yang dicalonkan partai “harus” seperti anak kecil yang dengar-dengaran kepada orang tua. Selain itu, fenomena determinasi politik partai terhadap calon di Indonesia masih amat kental, sehingga banyak kali dalam pemberitaan dimedia menyebut bahwa Presiden dan Wakil Presiden yang lahir dari determinasi partai sebagai “antek” partai. Akibat dari determinasi partai politik didalam system pemilihan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia maka muncullah fenomena yang lain yang penulis kutip dari teorinya Arend Lijphart yaitu Oversized Coalition Theory (teori koalisi kebesaran)[6], teori ini selalu memiliki dampak nantinya ketika Calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih nanti, yaitu lahirnya yang namanya teori bagi-bagi jatah menteri ­­---atau bahkan teori bagi-bagi proyek--- yang menyebabkan Presiden dan Wakil Presiden terbelenggu dalam Conflict of Interest dari partai politik.

            Oversized Coalition Theory di Indonesia kerap kali terjadi, seolah-olah koalisi “gemuk” ini menjadi semacam wajib hukumnya agar supaya Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia tidak menjadi Presiden”sial” dan Wakil Presiden”sial” layaknya yang pernah menimpa Presiden”sial” Abdurahman Wahid Tempo dulu. Koalisi kebesaran pernah terjadi diera awal Presiden Abdurahman Wahid, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan bahkan Presiden Joko Widodo, Koalisi Gemuk ini menghasilkan Presiden dan Wakil Presiden yang “minim” musuh politik. Kembali ke cerita Presiden”sial” Abdurahman Wahid memang diawal Kepemimpinannya koalisi gemuk memang terjadi sebelum ia ditinggalkan oleh koalisi poros tengah, alhasil pengaruh Wahid di parlemen menjadi kecil. Itulah yang menjadi penyebab Presiden”sial” menimpa sosok yang terkenal dengan toleransi antar umat Beragama ini.[7]

            Kembali ke konteks mengenai keterbukaan siapa saja untuk maju sebagai Presiden atau Wakil Presiden di Indonesia, Hal tersebut cukup berbeda dengan misalnya penulis mengambil perbandingan system demokrasi dinegeri Paman Sam Amerika Serikat, di Amerika Serikat Sebelum pilpres, seorang calon presiden akan melalui tahapan pemilihan pendahulu atau primary election dan Kaukus. Dua tahapan ini dilakukan untuk menentukan calon presiden dari masing-masing partai. Primary diadakan oleh pemerintah negara bagian, sementara kaukus adalah pertemuan tersendiri yang diadakan oleh partai politik. Baik primary maupun kausus diadakan secara "terbuka", "tertutup", atau campuran keduanya. Pada primary atau kaukus terbuka, pemilih memberikan suara untuk bakal calon dari partai mana pun. Pada primary atau kaukus tertutup, pemilih mesti terdaftar pada sebuah partai politik sebelum memilih salah satu bakal calon. Pada primary atau kaukus semi terbuka dan semi tertuitup adalah variasi dari keduanya. penentuan bakal calon presiden AS juga tidak berdasarkan suara terbanyak, melainkan oleh orang yang ditunjuk mewakili pemilih dalam konvensi nasional partai guna memilih calon presiden resmi dari partai mereka. Istilah ini disebut delegasi atau delegasi tersumpah.[8]

Delegasi inilah yang mewakili negara bagian mereka pada konvensi nasional partai. Seorang bakal calon presiden AS harus mendapatkan mayoritas suara delegasi pada konvensi nasional untuk bisa disebut calon presiden resmi partainya. Jumlah suara delegasi antara Partai Demokrat dan Partai Republik itu berbeda karena tergantung kepada aturan partai pada tingkat negara bagian dan tingkat nasional. Ada pula istilah superdelegasi atau delegasi tak tersumpah, yang terdiri dari para pejabat partai, para gubernur, dan para wakil rakyat yang berasal dari partai itu. Para superdelegasi tidak terikat pada bakal calon tertentu ketika konvensi nasional diadakan. Mereka bebas memilih siapa saja yang dianggapnya patut menjadi calon presiden partainya. Ketika primary dan kaukus selesai, partai politik mengadakan konvensi nasional yang akan menentukan calon presiden resmi dari partai. Usai terpilih menjadi calon presiden, maka akan dimulai kampanye dengan mengunjungi berbagai wilayah untuk bertemu warga Amerika Serikat.

Dari hal tersebut dapat kita lihat perbandingannya bahwa seleksi Presiden di Amerika serikat sifatnya sangat selektif dan terbuka bagi siapa saja untuk ikut dalam kontestasi politik negeri paman Sam tersebut. Bahkan biasanya dalam konvensi calon Presiden dari tiap partai menggelar debat public untuk tiap calon dari masing-masing partai, tentunya masih segar diingatan kita misalnya pada pemilihan Presiden AS Tahun 2016 dimana Donald Trump bahkan bisa berkesempatan mengikuti Pilpres AS meskipun dari latar belakang sebagai pengusaha dan entertainment. Hal ini tentu saja dimungkinkan karna seleksi Capres di AS sangatlah terbuka dan kompetitif bagi siapa saja. Sehingga konsep koalisi gemuk dapat dihindari dan justru menciptakan yang namanya Effective Democrazy or Effective Presidential sebagai salah satu teori Lijphart.[9]

Oleh karena itu untuk menciptakan pemerintahan yang efektif, perlu adanya etika politik yang baik dari para penyangga yang mejadi tiang dalam demokrasi yaitu partai politik dan adanya niatan baik bersama untuk merombak Konstitusi kita kearah yang lebih baik lewat gagasan amandemen ke-5 UUD NRI Tahun 1945,  untuk semakin terbuka dan selektif khususnya dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, agar supaya memang Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih betul betul bekerja untuk Rakyat dan tidak terbelenggu dalam kepentingan partai politik semata. penulis tentunya optimis melihat arah kedepan ketatanegaraan di Indonesia, penulis meyakini bahwa dinegara kita orang baik sebenarnya banyak, tetapi kebanyakan orang baik memilih untuk diam. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan ide-ide cemerlang dan suatu pergerakan yang nyata dan massif dalam upaya mewujudkan demokrasi yang demokratis mungkin guna menciptakan system ketatanegaraan Indonesia yang efektif dan ideal.


 

 



[1] Bisa dilihat juga Kronologinya di https://www.kompas.com/edu/read/2020/05/12/131147071/momentum-dan-kronologi-peristiwa-12-mei-1998?page=all diakses pada Hari Rabu, 3 Februari 2021 Pukul 16.40 WITA

[2] Penulis mengemukakan tidak pancasilais dikarenakan pada saat itu Pancasila dijadikan senjata memberantas Komunisme tetapi justru melahirkan sistem pemerintahan yang otolitarianisme (absolut).

[3] Jansen Sinamo, Revolusi Mental Dalam Institusi, Birokrasi dan Korporasi, Institut Darma Mahardika. Jakarta, 2014. Hal.6

[5] Meskipun pasca amandemen Indonesia telah menganut sistem Direct Presidential Election yaitu sistem dimana Presiden dipilih secara langsung lewat Pemilihan Umum oleh Rakyat.

[6] Arend Lijphart, Pattern of Democrazy. 1999. Dikutip kembali dalam Denny Indrayana, Negara Antara Ada dan Tiada. Kompas Gramedia. Jakarta. 2008. Hal. 12

[7] Perlu diketahui bahwa Presiden Abdurahman Wahid menjadi Presiden Indonesia kedua yang berhasil Dimakzulkan sebagai Presiden RI yang sebelumnya taktik tersebut pernah membuat Soekarno terpaksa harus turun dari jabatannya sebagai Presiden RI Pertama.

[9] Denny Indrayana, Op.Cit. Hal. 11

Comments